Saturday, September 21, 2019

STRATEGI MODERNIS – RELIGIUS


( Studi Analisis Tentang Filsafat Ilahiyah dan Etika Menurut Al-Ghazali dalam Konteks Strategi Memajukan Sebuah Pendidikan di Madrasah)

Oleh: Nurul Winayanti, S.Pd.I
Sebelum pembahasan tentang judul kita uraikan, penulis tertarik mengaitkan penemuan Al-Ghazali tentang konsep Filsafat Ilahiyah dan Etika dalam konteks strategi memajukan pendidikan di madrasah. Salah satu pendapat al-Ghazali terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al Munqiz min Ad Dhalal Al-Ghazali berpendapat bahwa:
”ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu bathin. Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu inderawi dan sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi) yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya adalah jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah tujuan yang luhur bagi tasawuf. Al-Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori Al Ijtihad) karena bertentangan dengan ajaran agama.”[1]
Lalu apa hubungannya dengan pendapat Al-Ghazali tentang ilmu dengan konteks judul di atas?
Penulis menulis judul di atas mencoba memberi gagasan di era sekarang yang sering dibilang era modern dan prof Iik juga sering menyebutnya menjelang revolusi ke industri 4.0. Era ini merupakan banyak tantangan bagi lembaga pendidikan lebih khusus bagi pendidikan di madrasah. Irois memang, tapi ini adalah sebuah keniscayaan zaman yang mau tidak mau harus dihadapi.
Sayyidina ali pernah berkata : “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu”.[2] Ini memberi isyarat kepada kita bahwa perkembangan zaman itu mutlak terjadi dan persoalan-persoalan baru yang belum ada pada zaman sebelumnya juga bermunculan. Persoalan-persoalan tentunya bukan hanya sebatas mendidik anak saja, akan tetapi lebih jauh dari itu.
Tentunya persoalan-persoalan penyelenggaraan pendidikan dan sistemnya mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Dari sini penulis ingin menguraikan benang merah antara pandangan Al-Ghazali tentang ilmu inderawi dan bathin.  Bagaimana mengimplementasikannya dalam konteks strategi untuk memajukan pendidikan?
Penulis memberi judul Modernis-Religius adalah sebuah konsep strategi yang penulis tawarkan dalam memajukan sebuah pendidikan. Lalu apa maksud judul tersebut? Secara sederhana penulis menginterpretasikan judul tersebut adalah sebuah konsep pengembangan lembaga pendidikan yang berorientasi pada modernitas (kekinian) dan tidak meninggalkan konsep-konsep religiusitas (ilahiyah). Konsep tersebut dalam upaya menjembatani peserta didik agar menjadi manusia-manusia yang sesuai dengan zamannya dan tidak kering otaknya (maksudnya kering dari sifat-sifat ilahiyah) sehingga dalam tataran praktis akan menjadi manusia-manusia yang luwes dan tidak ketinggalan zaman.
Melalui strategi modernis-religius diharapan peserta didik memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah manusia-manusia yang tidak lepas dari modernitas sehingga ada ghirrah untuk membekali diri dengan skill sesuai dengan kebutuhan dan membentengi dirinya dengan sifat-sifat ilahiyah yang mulia seperti meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Jadi dalam praktiknya, perkembagan ilmu dan teknologi akan diimbagi dengan sifat-sifat mulia yang bersumber dari ajaran ilahi. Yang berkaitan dengan perkembangan ilmu lahir (dlahir) digarap ala dlahir, sedangkan yang berhubungan dengan ilmu bathin dilaksanakan ala ilmu bathin.
Model strategi tersebut apakah bisa diterapkan?
Saya rasa sangat bisa sekali untuk menerapkan strategi tersebut, tinggal bagaimana kemauan penyelenggara pendidikan dan stakeholder dalam mengimplementasikannya. Mungkin saja sebagian besar sudah menerapkan model seperti itu, akan tetapi tingkat keseriusan dan berbagai kepentingan elektoral yang bisa jadi mengganggu keberhasilan konsep tersebut.
Sebagai salah satu contoh disekitar kita adalah pondok pesantren Gontor. Siapa yang tidak mengatakan bahwa gontor itu maju? Pasti kalau ditanya akan menjawab kalau Gontor adalah representasi dari lembaga pendidikan yang “maju”. Penulis berani menulis karena melihat sendiri beberapa hari dalam studi banding kami. Betapa dahsyatnya perkawinan antara modernitas dengan religiusitas diterapkan pada lembaga pendidikan. Disitu menghasilkan peserta didik yang cerdas, disiplin, bertanggung jawab, gotong royong, jujur, dan berkarakter kuat.
Kesimpulannya adalah di zaman modern ini tren orang tua/wali peserta didik akan cenderung lebih tertarik menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang berorientasi pada pemerhatian terhadap akhlak peserta didiknya. Mengingat seperti yang kita ketahui di era modern apabila tidak diimbangi dengan pengetahuan agama yang cukup akan menjadikan manusia-manusia yang kering. Artinya pertimbangan-pertimbangan orang tua agar anak-anaknya menjadi anak yang cerdas dan beradab itu akan lebih ada ketertarikannya daripada sekedar cerdas tanpa adab/akhlak.



[1] Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj.Abdullah bin Nuh, ( Jakarta: Tinta Mas, 1960), hal. 205
[2] Ahmad Fahruddin, dalam https://www.kompasiana.com/kang_fahru/592cf43acc92736a09e7a327/mendidik-sesuai-zaman diunduh pada tanggal 8 Januari 2019
[3] Murtiningsih, Wahyu, 2012, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, Jogjakarta: IRCiSoD
[4] Soetriono & Rita Hanafie, 2017, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Solo: Andi Offset.

Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar Yang Anda Sukai

No comments