Oleh : Nurul Winayanti, S.Pd.I
Hoax menjadi perbincangan hangat di media massa
maupun media sosial belakangan ini karena dianggap meresahkan publik dengan
informasi yang tidak bisa dipastikan kebenarannya. Hoax adalah suatu kata yang
digunakan untuk menunjukan pemberitaan palsu atau usaha
untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai
sesuatu yang biasanya digunakan dalam medos, misalnya: facebook, tweeter, blog,
dan lain-lain.
Menurut Wikipeda, Pemberitaan palsu adalah usaha
untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu,
padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah
palsu. Salah satu contoh pemberitaan palsu yang paling umum adalah mengklaim
sesuatu barang atau kejadian dengan suatu sebutan yang berbeda dengan
barang/kejadian sejatinya.
Menurut Dr. H. Fuad
Thohari, MA (2016) sedikitnya ada empat macam
berita bohong atau hoax, diantaranya adalah: Pertama, mitos atau cerita berlatar masa lampau yang
boleh jadi salah, tetapi dianggap benar karena diceritakan secara
turun-temurun. Kedua, glorifikasi dan demonisasi. Glorifikasi
adalah melebih-lebihkan sesuatu agar tampak hebat, mulia, dan sempurna.
Sebaliknya, demonisasi adalah mempersepsikan sesuatu seburuk mungkin seolah
tanpa ada kebaikannya sedikit pun. Ketiga, kabar bohong atau
informasi yang diada-adakan atau sama sekali tidak mengandung kebenaran. Keempat, info
sesat, yaitu informasi yang faktanya dicampuradukkan, dipelintir, dan dikemas
sedemikian rupa sehingga menjadi seolah-olah benar. Di dunia komunikasi, ada
istilah spin doctor untuk menyebut ahli pemelintiran
komunikasi.
Karena hoax adalah merupakan berita palsu atau
bohong, bisa kita bayangkan begitu bahayanya dampak hoax terhadap tatanan
masyarakat yang sebenarnya sudah lumayan baik ini. Kebohongan juga akan berdampak
pada kesimpangsiuran berita, bahkan sampai bisa menjadikan provokasi dan
pertikaian. Maka kita generasi yang masih eksis pada era gadget dan smartphone ini
harus bisa menelaah terlebih dahulu dalam menerima informasi-informasi dari
manapun. Sehingga akurasi berita atau informasi bisa kita terima dan tidak akan
mudah terprovokasi.
Adapun pembahasan ini penulis batasi pada kajian
tentang bagaimana generasi milenial terhadap hoax dan solusi untuk
meminimalisir hoax pada generasi milenial.
Generasi Millenial Rentan Terhadap Hoax
Generasi millenial adalah generasi yang lahir
pada era tahun 1980-an hingga 2000-an merupakan generasi yang dinilai paling
rentan ‘tertelan’ oleh berita bohong atau hoax. Semuanya terjadi karena
hidup mereka banyak dihabiskan pada gadget dan seakan akan mereka tidak pernah
lepas dengan dunia maya. Ini berimplikasi pada penerimaan mereka terhadap
informasi-informasi yang mudah diakses melalui gadget mereka.
Tantangan terberat yang harus dihadapi generasi
milenial adalah bertebarannya informasi bohong alias hoax. Informasi hoax, bila
dibiarkan bisa memprovokasi dan mempergaduh suasana serta dapat merusak
persatuan yang selama ini sudah dibangun dengan susah payah. Olehnya itu, sudah
semestinya generasi milenial untuk memiliki komitmen memerangi hoax.
Bagi generasi milenial yang terlanjur
mempergunakan gadget, tetapi di saat yang sama tidak diimbangi dengan kesiapan
literasi media kritis untuk memilih dan menyikapi berita-berita yang objektif,
risiko mereka terjerumus dalam provokasi dan informasi bohong tentu lebih
besar.
Sebuah berita hoax yang diproduksi,
disirkulasikan dan kemudian diresirkulasikan melalui teknologi dan media yang konvergen,
maka dalam tempo yang cepat tidak mustahil berubah menjadi
"kebenaran" karena penyebarannya yang masif.
Booming informasi yang nyaris tidak terbatas
di dunia maya membuat generasi milenial yang kritis sekali pun seringkali
kesulitan memilah mana yang hoax dan mana pula yang bisa dipercaya.
Memang tidak mudah untuk menyaring antara berita
hoax dan berita kredibel kalau tidak diimbangi penguasaan literasi yang bagus.
Generasi kita yang suka serba instan harus mulai disadarkan tentang pentingnya
membaca dan menggali dari berbagai referensi. Sehingga dalam penerimaan
informasi apapun mereka dapat menelaah dengan seksama dan tidak cenderung
reaktif terhadap informasi yang belum jelas kebenarannya.
Solusi
untuk Meminimalisir Hoax
Kita semua menyadari bahwa kemajuan teknologi
informasi, meluasnya penggunaan gadget atau smartphone dan
kehadiran media jejaring facebook, twitter, IG, dan lainnya serta kemudahan
berselancar di dunia maya tanpa batas memang penuh pesona, dan menjadi daya
tarik tersendiri.
Dengan kita memahami bahwa hal ini adalah
konsekuensi dari perkembangan gaya hidup maka upaya untuk mencegah agar dampak
perkembangan TI tidak kontra-produktif. Tentu tidak harus
dilakukan hanya mengandalkan pendekatan yang sifatnya regulatif-punitif,
seperti melakukan razia di berbagai wartel, mengeluarkan fatwa haram untuk facebook,
twitter, IG, dan lainnya, atau sekedar melakukan pemblokiran, dan sejenisnya.
Dalam hal ini, adalah tugas kita bersama antara
orang tua, madrasah, dan seluruh elemen masyarakat yang peduli untuk senantiasa
membantu para pengguna gadget dan sejenis smartphone yang lain
mengembangkan multiple literasi yang mereka perlukan untuk
bernegosiasi dengan dunia digital. Artinya kita bisa turut andil dalam
menyebarkan konten-konten positif sebagai bentuk counter terhadap hoax itu
sendiri.
Menarik dan mengisolasi diri dari perkembangan
teknologi jelas tidak mungkin dilakukan karena hal itu hanya akan membuat generasi
menjadi gagap teknologi (gaptek) dan ketinggalan zaman.
Namun, memfasilitasi persentuhan generasi
milenial terlebih peserta didik pada satuan apapun dengan dunia digital,
bagaimana pun tetap membutuhkan dukungan literasi media kritis sebagai koridor
yang bisa memastikan bahwa mereka tidak akan salah arah hingga terjerumus
menjadi korban dunia digital, yang tanpa disadari telah berubah menjadi lautan
ganas yang mampu menelan siapa pun yang tak mempersiapkan diri dengan baik.
Pada kesimpulannya
generasi sekarang memang perlu arahan, bimbingan, dan regulasi yang pasti, agar
generasi milenial dan secara umum rakyat Indonesia untuk lebih cerdas dalam
bermedsos, terutama menerima dan menyebarkan berita atau informasi dari sumber
yang tidak jelas kredibilitasnya. Generasi milenial dan masyarakat secara umum
perlu didorong untuk membiasakan diri melakukan klarifikasi terhadap semua
berita atau informasi. Apalagi kalau informasi itu datangnya dari
orang-orang fasiq, wajib klarifikasi dan uji telaah akurasi dan validitas
berita.