(
Studi Analisis Tentang Filsafat Ilahiyah dan Etika Menurut Al-Ghazali dalam
Konteks
Strategi Memajukan Sebuah Pendidikan di Madrasah)
Sebelum pembahasan tentang judul kita uraikan, penulis
tertarik mengaitkan penemuan Al-Ghazali tentang konsep Filsafat Ilahiyah dan
Etika dalam konteks strategi memajukan pendidikan di madrasah. Salah satu
pendapat al-Ghazali terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al Munqiz
min Ad Dhalal Al-Ghazali berpendapat bahwa:
”ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu
manusia, karena ada dua alam, yakni alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu
(pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus
ada ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu bathin. Pengetahuan-pengetahuan itu
sendiri ada dua, yaitu inderawi dan sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk
mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda untuk
mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi)
yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis
seluruhnya adalah jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi
dan ilham yang melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah
tujuan yang luhur bagi tasawuf. Al-Ghazali menentang kesatuan antara manusia
dengan Tuhan (teori Al Ijtihad) karena bertentangan dengan ajaran
agama.”[1]
Lalu apa hubungannya dengan pendapat Al-Ghazali tentang ilmu
dengan konteks judul di atas?
Penulis menulis judul di atas mencoba memberi gagasan di era
sekarang yang sering dibilang era modern dan prof Iik juga sering menyebutnya
menjelang revolusi ke industri 4.0. Era ini merupakan banyak tantangan bagi
lembaga pendidikan lebih khusus bagi pendidikan di madrasah. Irois memang, tapi
ini adalah sebuah keniscayaan zaman yang mau tidak mau harus dihadapi.
Sayyidina ali pernah berkata : “Didiklah anak-anakmu
sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu”.[2]
Ini memberi isyarat kepada kita bahwa perkembangan zaman itu mutlak terjadi
dan persoalan-persoalan baru yang belum ada pada zaman sebelumnya juga
bermunculan. Persoalan-persoalan tentunya bukan hanya sebatas mendidik anak
saja, akan tetapi lebih jauh dari itu.
Tentunya persoalan-persoalan penyelenggaraan pendidikan dan
sistemnya mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Dari sini penulis
ingin menguraikan benang merah antara pandangan Al-Ghazali tentang ilmu
inderawi dan bathin. Bagaimana
mengimplementasikannya dalam konteks strategi untuk memajukan pendidikan?
Penulis memberi judul Modernis-Religius adalah sebuah
konsep strategi yang penulis tawarkan dalam memajukan sebuah pendidikan. Lalu
apa maksud judul tersebut? Secara sederhana penulis menginterpretasikan judul
tersebut adalah sebuah konsep pengembangan lembaga pendidikan yang berorientasi
pada modernitas (kekinian) dan tidak meninggalkan konsep-konsep religiusitas
(ilahiyah). Konsep tersebut dalam upaya menjembatani peserta didik agar
menjadi manusia-manusia yang sesuai dengan zamannya dan tidak kering otaknya
(maksudnya kering dari sifat-sifat ilahiyah) sehingga dalam tataran
praktis akan menjadi manusia-manusia yang luwes dan tidak ketinggalan zaman.
Melalui strategi modernis-religius diharapan peserta
didik memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah manusia-manusia yang tidak lepas
dari modernitas sehingga ada ghirrah untuk membekali diri dengan skill
sesuai dengan kebutuhan dan membentengi dirinya dengan sifat-sifat ilahiyah
yang mulia seperti meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih,
pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan
sebagainya.
Jadi dalam praktiknya, perkembagan ilmu dan teknologi akan
diimbagi dengan sifat-sifat mulia yang bersumber dari ajaran ilahi. Yang
berkaitan dengan perkembangan ilmu lahir (dlahir) digarap ala dlahir,
sedangkan yang berhubungan dengan ilmu bathin dilaksanakan ala ilmu bathin.
Model strategi tersebut apakah bisa diterapkan?
Saya rasa sangat bisa sekali untuk menerapkan strategi
tersebut, tinggal bagaimana kemauan penyelenggara pendidikan dan stakeholder
dalam mengimplementasikannya. Mungkin saja sebagian besar sudah menerapkan
model seperti itu, akan tetapi tingkat keseriusan dan berbagai kepentingan
elektoral yang bisa jadi mengganggu keberhasilan konsep tersebut.
Sebagai salah satu contoh disekitar kita adalah pondok
pesantren Gontor. Siapa yang tidak mengatakan bahwa gontor itu maju? Pasti
kalau ditanya akan menjawab kalau Gontor adalah representasi dari lembaga
pendidikan yang “maju”. Penulis berani menulis karena melihat sendiri beberapa
hari dalam studi banding kami. Betapa dahsyatnya perkawinan antara modernitas
dengan religiusitas diterapkan pada lembaga pendidikan. Disitu menghasilkan peserta
didik yang cerdas, disiplin, bertanggung jawab, gotong royong, jujur, dan berkarakter
kuat.
Kesimpulannya adalah di
zaman modern ini tren orang tua/wali peserta didik akan cenderung lebih
tertarik menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang berorientasi pada
pemerhatian terhadap akhlak peserta didiknya. Mengingat seperti yang kita
ketahui di era modern apabila tidak diimbangi dengan pengetahuan agama yang
cukup akan menjadikan manusia-manusia yang kering. Artinya
pertimbangan-pertimbangan orang tua agar anak-anaknya menjadi anak yang cerdas
dan beradab itu akan lebih ada ketertarikannya daripada sekedar cerdas tanpa adab/akhlak.
[1] Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj.Abdullah bin
Nuh, ( Jakarta: Tinta Mas, 1960), hal. 205
[2] Ahmad Fahruddin, dalam https://www.kompasiana.com/kang_fahru/592cf43acc92736a09e7a327/mendidik-sesuai-zaman
diunduh pada tanggal 8 Januari 2019
[3] Murtiningsih, Wahyu, 2012, Para Filsuf dari Plato
sampai Ibnu Bajjah, Jogjakarta: IRCiSoD
[4] Soetriono & Rita Hanafie, 2017, Filsafat Ilmu dan
Metodologi Penelitian, Solo: Andi Offset.