Masih ingatkah wacana mendikbud
Pof. Muhajir tentang full day school? Wacana full day school tergolong bagus
dan ide brilian yang disampaikan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan yang
tergolong masih kinyis-kinyis. Akan tetapi,
perlu diketahui bahwa wacana seorang menteri dengan wacana masyarakat awam sangat
berbeda. Wacana pak menteri mendikbud ketika dilirik media mempunyai implikasi
yang sangat luar biasa, karena setiap sabda menteri bisa saja dianggap sebagai regulasi
yang akan diterapkan, minimal menjadi akan menjadi acuan program di
kementeriannya.
Gagasan yang bagus seharusnya
dibarengi dengan riset dan sayogyanya tidak menyampaikan secara terburu-buru.
Sebelum menyampaikan ide atau gagasan perlu adanya kajian yang mendalam tentang
bagaimana melihat kondisi sekolah secara umum dan memiliki planning yang tepat.
Bila kita lihat faktanya banyak sekolah di Indonesia yang belum memiliki
fasilitas untuk mendukung kebijakan tersebut.
Wacana yang kelihatannya ringan
dan sepele tersebut mendapat reaksi masyarakat yang luar biasa karena secara
tidak langsung Prof Muhajir mengintruksikan sebanyak 266,559 (data dari http://referensi.data.kemdikbud.go.id/index11.php)
sekolah yang meliputi SD/MI, SMP/MTs, SLTA/MA, SMK baik negeri dan swasta di
seluruh Indonesia untuk mempersiapkan diri melaksanakan full day school.
Ratusan ribu sekolah tersebut tentunya banyak yang kaget dan khawatir bila
wacana ini jadi diterapkan. Kebanyakan khawatir karena diantara dari sekolah
tersebut kebanyakan fasilitas sarpras dan SDM banyak yang belum memenuhi syarat.
Meskipun wacana full day school itu bisa diisi dengan kegiatan ekstrakurikuler,
tapi yang terjadi adalah pembengkakan anggaran untuk membiayai seluruh kegiatan
tersebut.
Dengan asumsi besaran dana BOS
untuk SD/MI= 800.000,- SLTP/MTs = 1.000.000,- dan SLTA/MA=1.200.000 pertahun
itu hanya habis untuk biaya operasional sekolah dengan asumsi maksimal 3
Kegiatan Ekstra, itupun dengan tuntutan banyaknya administrasi dan perbaikan
operasional sarpras seringkali sekolah tombok. Dan bahkan banyak diantara
sekolah atau madrasah swasta yang memiliki murid sedikit bahkan rela
menggadaikan SK Kepala sekolahnya untuk menutup anggaran tersebut.
Asumsi sekolah gratis sudah menjadi
mindset masyarakat kita secara umum. Dan apakah kalau diterapkannya full day
school ini para orang tua apakah mau membayar/membiayai anaknya untuk menutup
kekurangan anggaran full day scholl ini? Pertanyaan yang menggelitik bagi kami
yang tinggal di Desa dan tentunya mereka akan menjawab tidak.!!! Atau mereka
memilih pindah sekolah dengan biaya yang murah dan tidak jarang mereka banyak
yang tergiur dengan sekolah yang memberikan BSM (Bantuan Siswa Miskin) secara
penuh.
Jadi wacana full day school bisa
saja berlaku atau bahkan sudah mulai berjalan pada sekolah-sekolah favorit yang
notabene sekolah itu adalah sekolah milik kaum berduit. Wacana tersebut tidak
bisa disampaikan secara umum kepada ratusan ribu sekolah / madrasah seluruh
Indonesia.
Maka tidak heran dengan
beragamnya reaksi netizen beradu argumen dan bahkan banyak yang membully
mendikbut baru tersebut. Dengan berbagai alasan dan kondisi fakta lapangan
sekolah/madrasah kita yang belum sepenuhnya bisa / mampu menerapkan full day
school, menimnbulkan reaksi netizen kebanyakan banyak yang menolak ide
tersebut.
Salam dari desa.!!!