Thursday, December 29, 2016

Full Day School, Tepatkah?

Masih ingatkah wacana mendikbud Pof. Muhajir tentang full day school? Wacana full day school tergolong bagus dan ide brilian yang disampaikan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan yang tergolong masih kinyis-kinyis.  Akan tetapi, perlu diketahui bahwa wacana seorang menteri dengan wacana masyarakat awam sangat berbeda. Wacana pak menteri mendikbud ketika dilirik media mempunyai implikasi yang sangat luar biasa, karena setiap sabda menteri bisa saja dianggap sebagai regulasi yang akan diterapkan, minimal menjadi akan menjadi acuan program di kementeriannya.
Gagasan yang bagus seharusnya dibarengi dengan riset dan sayogyanya tidak menyampaikan secara terburu-buru. Sebelum menyampaikan ide atau gagasan perlu adanya kajian yang mendalam tentang bagaimana melihat kondisi sekolah secara umum dan memiliki planning yang tepat. Bila kita lihat faktanya banyak sekolah di Indonesia yang belum memiliki fasilitas untuk mendukung kebijakan tersebut.
Wacana yang kelihatannya ringan dan sepele tersebut mendapat reaksi masyarakat yang luar biasa karena secara tidak langsung Prof Muhajir mengintruksikan sebanyak 266,559 (data dari http://referensi.data.kemdikbud.go.id/index11.php) sekolah yang meliputi SD/MI, SMP/MTs, SLTA/MA, SMK baik negeri dan swasta di seluruh Indonesia untuk mempersiapkan diri melaksanakan full day school. Ratusan ribu sekolah tersebut tentunya banyak yang kaget dan khawatir bila wacana ini jadi diterapkan. Kebanyakan khawatir karena diantara dari sekolah tersebut kebanyakan fasilitas sarpras dan SDM banyak yang belum memenuhi syarat. Meskipun wacana full day school itu bisa diisi dengan kegiatan ekstrakurikuler, tapi yang terjadi adalah pembengkakan anggaran untuk membiayai seluruh kegiatan tersebut.
Dengan asumsi besaran dana BOS untuk SD/MI= 800.000,- SLTP/MTs = 1.000.000,- dan SLTA/MA=1.200.000 pertahun itu hanya habis untuk biaya operasional sekolah dengan asumsi maksimal 3 Kegiatan Ekstra, itupun dengan tuntutan banyaknya administrasi dan perbaikan operasional sarpras seringkali sekolah tombok. Dan bahkan banyak diantara sekolah atau madrasah swasta yang memiliki murid sedikit bahkan rela menggadaikan SK Kepala sekolahnya untuk menutup anggaran tersebut.
Asumsi sekolah gratis sudah menjadi mindset masyarakat kita secara umum. Dan apakah kalau diterapkannya full day school ini para orang tua apakah mau membayar/membiayai anaknya untuk menutup kekurangan anggaran full day scholl ini? Pertanyaan yang menggelitik bagi kami yang tinggal di Desa dan tentunya mereka akan menjawab tidak.!!! Atau mereka memilih pindah sekolah dengan biaya yang murah dan tidak jarang mereka banyak yang tergiur dengan sekolah yang memberikan BSM (Bantuan Siswa Miskin) secara penuh.
Jadi wacana full day school bisa saja berlaku atau bahkan sudah mulai berjalan pada sekolah-sekolah favorit yang notabene sekolah itu adalah sekolah milik kaum berduit. Wacana tersebut tidak bisa disampaikan secara umum kepada ratusan ribu sekolah / madrasah seluruh Indonesia.
Maka tidak heran dengan beragamnya reaksi netizen beradu argumen dan bahkan banyak yang membully mendikbut baru tersebut. Dengan berbagai alasan dan kondisi fakta lapangan sekolah/madrasah kita yang belum sepenuhnya bisa / mampu menerapkan full day school, menimnbulkan reaksi netizen kebanyakan banyak yang menolak ide tersebut.

Salam dari desa.!!!
Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar Yang Anda Sukai

No comments