(Upaya Pemberdayaan
Guru Sebagai Kurikulum Tersembunyi/Hidden Curriculum)
Pendahuluan
Ketika terjadi
perubahan kebijakan di dunia pendidikan, yang paling menerima dampak adalah
guru. Perubahan kurikulum yang kesekian kalinya, membuat para guru berkomentar
kesana kesini, ada yang menerima dengan ketidaktahuan, menerima dengan
terpaksa, menolak dengan ikhlas dan menolak denga keraguan, bahkan ada yang
acuh tak acuh. Pertanyaan besar penulis adalah mengapa ketika ada perubahan
kurikulum kita sebagai pendidik bingung, berkomentar ngalor ngidul, pesimis,
menyalahkan dan meragukan kebijakan pemerintah. Bukannya kita menjadi guru
sudah sekian lama, pekerjaaan yang selalu kita geluti, dan profesi yang menjadi
guru terhormat. Padahal kalau mengkaji lebih mendalam, guru adalah kurikulum
itu sendiri, guru mempunyai peran tidak hanya sekedar mengajar tetapi mempunyai
kewajiban yang tak tertulis diantaranya sebagai contoh/teladan, sebagai simbol
lembaga, dan sebagai kebanggan peserta didik.
Seputar Kurikulum
Konsep
kurikulum sebagai program atau rencana pembelajaran, tampaknya
diikuti oleh para ahli kurikulum dewasa ini, seperti Donald E. Orlosky, B.
Othanel Smith (1978) dan Peter F. Oliva (1982), yang menyatakan bahwa kurikulum
pada dasarnya adalah suatu perencanaan atau program pengalaman siswa yang
diarahkan madrasah.
Menurut
Undang–Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
dikatakan kurikulum adalah seperangkat rencana dan peraturan mengenai isi dan
bahan pelajaran serta cara yang di gunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan belajar mengajar.
Peran Guru
Guru memegang
peranan penting dalam pelaksanaan
proses belajar-mengajar. Salah satunya fungsi guru yaitu untuk memperbaiki
situasi belajar. Selain itu sebagai perencana, pelaksana, dan pengembangan
kurikulum dari pengajaran. Guru adalah pembimbing, dinamisator, motivator,
fasilitator, dan arsitek proses belajar mengajar.
a.
Guru sebagai komunikator yaitu sebagai pemberi inspirasi dan dorongan,
pembimbing dalam pengembangan sikap dan tingkah laku serta nilai-nilai, agar
pembelajar meguasai materi pelajaran
yang diajarkan.
b.
Guru sebagai informator
yaitu pelaksanaan dengan beberapa cara mengajar: informatif, praktis, dan studi
lapangan secara akademik maupuan umum.
c.
Guru sebagai organisator
yaitu pengelolah kegiatan akademik seperti: silabus, workshop, jadwal pelajaran
dan sebagainya.
d.
Guru sebagai motivator.
Peranan ini sangat penting artinya dalam rangka meningakatkan kegairahan dan
pengembangan kegiatan belajar. Guru harus dapat merangsang memberikan dorongan
untuk mendinamisasikan potensi pembelajar, menumbuhkan aktivitas dan
kreativitas sehingga yerjadi dinamika didalam proses pembelajaran.
e.
Guru
sebagai pengarah/direktor yaitu
jiwa kepemimpinana seorang guru dalam peranan ini sangat menonjol. Guru dalam
hal ini harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan pembelajaran sesuai
dengan tujuan yang telah ditetepkan.
f.
Guru sebagai inisiator
yaitu pencetus ide-ide dalam proses belajar. Dalam pembelajaran guru perluh
memberikan ide-ide yang dapat dicontoh oleh pembelajar.
g.
Guru sebagai transmitter/fasilitator yaitu memberikan fasilitas untuk kemudahan pembelajaran,
mencipakan suasana belajar sedemikian rupa, serasi dengan pengembangan
siswa sehingga interaksi dalam
pembelajaran akan berlangsung secara efektif.
h.
Guru sebagai mediator
yaitu penengah dalam kegiatan pembelajaran. Selai itu, mediator dapat diartikan
perancang pengembang, dan penyedia media serta cara memakai dan
mengorganisasikan penggunaan media.
i.
Guru sebagai evaluator
yaitu peranan akhir kegiatan guru dalam pembelajaran adalah melakukan
evaluasi. Dalam hal ini guru mempunyai otoritas untuk menilai keberhasialan
pengajaran.
Jika dihubungkan dengan kurikulum, peran guru dalam kurikulum sebagai berikut :
a.
Sebagai implementer, guru
berperan untuk mengaplikasikan kurikulum yang sudah ada. Di sini guru hanya
menerima berbagai kebijakan perumus kurikulum. Guru tidak memiliki kesempatan
baik untuk menentukan isi kurikulum maupun menentukan target kurikulum. Peran
guru hanya sebatas menjalankan kurikulum yang telah disusun. Peran ini pernah
dilaksanakan di Indonesia saat sebelum
reformasi, yaitu guru sebagai implementator kebijakan kurikulum yang disusun
secara terpusat, dituangkan dalam Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP). Pada era ini guru pragmatis, apatis dan tidak
berkreasi
b.
Sebagai adapters,
dimana guru lebih dari hanya sebagai pelaksana kurikulum, akan tetapi juga
sebagai penyelaras kurikulum dengan karakteristik dan kebutuhan siswa dan
kebutuhan daerah. Guru diberi kewenangan untuk menyesuaikan kurikulum yang
sudah ada dengan karakteristik madrasah dan kebutuhan lokal. Hal ini sangat
tepat dengan kebijakan KTSP dimana para perancang kurikulum hanya menentukan
standat isi sebagai standar minimal yang harus dicapai, bagaimana
implementasinya, kapan waktu pelaksanaannya, dan hal-hal teknis lainnya
seluruhnya ditentukan oleh guru. Dengan demikian, peran guru sebagai adapters
lebih luas dibandingkan dengan peran guru sebagai implementers.
c.
Sebagai pengembang kurikulum, guru memiliki kewenangan dalam
mendesain sebuah kurikulum. Guru tidak hanya bisa menentukan tujuan dan isi
pelajaran yang akan disampaikan, tetapi bahkan dapat menentukan strategi apa
yang harus dikembangkan dan bagaimana mengukur keberhasilannya. Sebagai pengembang kurikulum guru sepenuhnya dapat
menyusun kurikulum sesuai dengan karakteristik, misi dan visi
madrasah/madrasah, serta sesuai dengan pengalaman belajar yang diperlukan anak
didik. Dalam KTSP peran ini dapat dilihat dalam pengembangan kurikulum muatan
lokal. Dalam pengembangan kurikulum muatan lokal, sepenuhnya diserahkan kepada
masing-masing satuan pendidikan, karena itu kurikulum yang berkembang dapat
berbeda antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lainnya.
d. Sebagai
peneliti kurikulum (curriculum researcher).
Peran ini dilaksanakan sebagai bagian dari tugas professional guru yang
memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dalam peran
ini guru memiliki tanggung jawab untuk menguji berbagai komponen kurikulum,
misalnya menguji bahan-bahan kurikulum, menguji efektivitas program, strategi
maupun model pembelajaran, termasuk mengumpulkan data tentang keberhasilan
siswa mencapai target kurikulum. Salah satu metode yang dianjurkan dalam
penelitian adalah metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yakni metode
penelitian yang berangkat dari masalah yang dihadapi guru dalam implementasi
kurikulum. Melalui PTK, guru berinisiatif melakukan penelitian sekaligus melaksanakan tindakan untuk memecahkan
masalah yang dihadapi. Dengan demikian, PTK merupakan salah satu metode yang
tidak hanya menambah wawasan guru dan menambah profesionalismenya, tetapi
secara terus-menerus dapat meningkatkan kualitas kinerjanya. (Sanjaya,
2013:28)
Penjelasan Kurikulum Tersembunyi
Terdapat dua terminologi mengenai kurikulum, yakni
terminologi kurikulum eksplisit (tertulis) dan implisit (tidak tertulis) atau
kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Apa yang kita bahas
sebelumnya lebih banyak terkait dengan kurikulum yang bersifat tertulis; yakni
sebuah upaya pecapaian tujuan pendidikan dengan berbagai aktivitasnya yang
telah didokumentasikan (direncanakan) dengan baik. Sementara itu, untuk
pencapaian tujuan pendidikan terdapat hal-hal yang tidak
terdokumentasikan/direncanakan/diprogramkan atau sifatnya tidak tertulis dan
hal ini sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri,
hal-hal inilah yang disebut dengan kurikulum tersembunyi.
Dakir
(2010) mengatakan bahwa kurikulum tersembunyi adalah kurikulum yang tidak
direncanakan, tidak di program, dan tidak dirancang, tetapi mempunyai pengaruh
baik secara langsung atau tidak langsung terhadap output dari proses
belajar mengajar. Valance
(1973) mengatakan bahwa hidden curriculum meliputi yang tidak
dipelajari dari program madrasah yang nonakademik. Kohelberg (1970) mengatakan
bahwa hidden curriculum sebagai hal yang
berhubungan dengan pendidikan moral dan peran guru dalam mentransformasikan
standar moral. Kyiriacou (1997) menyatakan bahwa hidden curriculum
merupakan segala macam aspek pengalaman yang diperoleh siswa dari madrasah yang
sangat berpengaruh terhadap karakter siswa. Kurikulum tersembunyi (hidden
curriculum), yaitu segala sesuatu yang terjadi pada saat pelaksanaan kurikulum
ideal menjadi kurikulum faktual.
Kurikulum tidak hanya sebatas hal yang tampak, ada
yang tersembunyi tetapi memiliki peran yang signifikan bagi proses pendidikan
dan peserta didik (Allan A.Glatthorn,1987:20)
Tersembunyi
artinya tidak terlihat atau tidak dapat diindra. Tetapi tersembunyi bukan
berarti tidak ada. Hidden curriculum adalah kurikulum yang tersembunyi, tetapi
nyata dalam proses. Sehingga tidak boleh diabaikan peranannya. Kurikulum ini
memiliki peran penting dalam mempengaruhi proses dan hasil belajar dalam
melahirkan peserta didik yang sesuai ekspketasi masyarakat sebagai pengguna
Secara
umum dapat dideskripsikan bahwa kurikulum tersembunyi merupakan hasil
(sampingan) dari pendidikan dalam datar madrasah atau luar madrasah, khususnya
hasil yang dipelajari tetapi tidak secara tersurat dicantumkan sebagai tujuan
suatu kurikulum.
Kurikulum yang sesungguhnya pada umumnya bertujuan
mencapai kecerdasan yang merata untuk semua peserta didik. Walaupun kurikulum tersembunyi memberikan sejumlah besar
pengetahuan pada peserta
didik, ketidaksamaan yang diakibatkan
kesenjangan antar kelas dan status sosial sering menimbulkan konotasi negatif.
Kurikulum
tersembunyi dapat juga diasosiasikan dengan penguatan ketidaksetaraan sosial,
seperti terbukti dalam pekerjaan yang diterapkan pada siswa jadi berbeda-beda
berdasarkan kelas sosialnya.
Madrasah sesungguhnya bukan hanya lembaga yang
menawarkan mata-mata pelajaran yang ditandai oleh perolehan ijazah belaka.
Namun banyak sekali hal yang bisa kita peroleh dari madrasah yang secara alami
terkemas dalam apa yang diistilahkan hidden curriculum. Contoh dari
kurikulum tersembunyi, antara lain :
1.
Pendidikan karakter.
2.
Kegiatan
ekstrakurikuler, kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan
konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan,
potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus
diselenggarakan oleh pendidik yang berkemampuan dan memiliki wewenang di
madrasah. Fungsinya untuk pengembangan, sosial, rekreatif,
persiapan karier, pembentuk karakter, pengembangan diri.
3.
Keteladanan
guru, empat kompetensi yang harus dimiliki seorang pendidik, pedagogik
(mengelola pembelajaran peserta didik), kepribadian (berkejiwaan mantap,
berakhlak mulia, berwibawa, arif, menjadi teladan bagi peserta didik),
professional (penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam), dan
social (mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik).
Guru sebagai Kurikulum
Guru adalah seorang informal leader. Sebagai informal
leader, tampilannya harus merupakan fungsionalisasi kepemimpinan yang mampu
memberikan kesejukan dalam berinteraksi dengan para peserta didik. Siswa harus
dilayani dengan kasih sayang, ramah tamah, bilhikmah, pengajaran yang baik dan
argumentatif. Sebaliknya jangan layani siswa dengan kekerasan, sumpah serapah,
caci maki, apa pun kesalahannya. Sadarkan dan berikanlah pengertian kepada
siswa dengan berpusat kepada dirinya sendiri, bahwa segala sesuatu yang terjadi
berpusat pada perilaku dirinya sendiri, sehingga mereka benar-benar kenal pada
dirinya sendiri.
Seorang peserta didik di madrasah banyak belajar dari
apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar, apa yang mereka rasakan, dan apa
yang mereka lakukan.
Untuk itu, pendidikan kepribadian sesungguhnya
merupakan tuntutan terutama bagi kalangan pendidik itu sendiri. Sebab,
pengetahuan yang baik tentang sebuah nilai akan menjadi tidak kredibel ketika
gagasan teoritis normatif nan apik itu tidak pernah ditemui oleh
peserta didik dalam praksis kehidupan di madrasah. Keteladanan memang menjadi
salah satu hal klasik bagi berhasilnya sebuah tujuan pendidikan.
Guru sebenarya harus sadar bahwa guru sebagai role
model/uswah hasanah bagi peserta didik. Selama ini sebagian guru
beranggapan peserta didik yang harus manut sama guru, bukan guru yang manut
sama peserta didik. Pendapat seperti itu tidak salah tetapi sangat tidak benar
jika dihubungkan dengan guru sebagai uswah hasanah
Guru mempunyai tugas dan fungsi kurikulum itu sendiri.
Tujuan, fungsi dan evaluasi kurikulum ada pada diri guru itu sendiri. Sebaik apapun perencanaan kurikulum, sehebat
apapun konsep kurikulum dan serapi apapun kurikulum, jika tidak dibarengi
dengan kemauan serta kemampuan guru mestinya hasilnya bisa nyeleweng
dari rencana awal.
Guru diharap bersedia menyediakan waktu lebih untuk
peserta didik. Mempunyai kasih sayang terhadap peserta didik, dengan bersedia
membimbing, menyapa, menunjukkan, mengarahkan dan beramar ma’ruf nahi munkar. (Muhammad Sholeh, S.Ag,. M.Pd.I)