Sobat… mungkin kalian sudah hafal dan sering mendengar
semboyan ini:
المُحـَا
فـَظـَـة ُ عـَلىَ القـَدِيْمِ الصـَّالِح وَالأخْذ ُ بـِالجَديْدِ الأصْلَح
“Memelihara nilai-nilai lama yang masih baik dan
menggali nilai-nilai baru yang lebih baik”.
Semboyan tersebut di
ungkapkan dalam rangka
untuk mempertahankan eksistensi nilai-nilai Aswaja agar tetap mampu bertahan dan berkembang
seirama dengan perkembangan zaman.
Agama islam itu satu namun banyak pemahaman dan pandangan dikalangan masyarakat, demikianlah kenyataan sejarah perjalanan
islam yang pada gilirannya perbedaan pemahaman dan pandangan itu bermuara dan
terakumulasi dalam madzhab-madzhab dan bagian-bagian baik menyangkut masalah Iman, Islam maupun Ihsan yang
tercermin ke dalam disiplin Aqidah, Syariah dan Tasawwuf.
Islam sebagai Syariat Allah yang abadi
dimana substansi keagamaannya terdiri dari tiga hal pokok yang sering dikenal
dengan Trilogi Islam yaitu Iman,
Islam, dan Ihsan. Kebenaran (keshahihan) substansi keagamaan ini
sebenarnya bisa diukur dengan ukuran baku dari sumbernya,
yakni Al Quran dan As-Sunnah. Manakala nafsu manusia tidak ikut intervensi
dalam klaim-klaim kebenaran dengan menganggap pendapatnya benar sendiri, karena
pada hakekatnya kebenaran itu hanyalah dari Allah bahkan hanyalah Allah
sendiri.
Dalam rangka untuk
menghidupkan dan melestarikan nilai-nilai Aswaja dikalangan peserta didik, maka
terlebih dahulu mereka harus mengetahui “apa itu Aswaja..?”
“ASWAJA” adalah singkatan dari Ahlussunnah Wal Jama’ah yang merupakan
rangkaian tiga kata yaitu: (a). Ahlu;
(b). Sunnah;
(c).Jama’ah.
Adapun pengertian Aswaja secara Bahasa:
a.
Ahlu : keluarga,
golongan atau pengikut.
b. Sunnah: perkataan, amal perbuatan(pekerjaan),
persetujuan, dan penetapan Nabi Muhammad SAW.
Berarti Ahlussunnah mempunyai arti: orang – orang yang
mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW.
c. Jama’ah mempunyai arti : Mayoritas ulama dan jama’ah umat Islam
pengikut sunnah Rasul.
Dengan demikian secara bahasa aswaja berarti orang –
orang atau mayoritas para ‘Ulama atau umat Islam yang mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat atau para ‘Ulama.
Secara Istilah Aswaja berarti golongan umat Islam yang
dalam bidang Tauhid menganut pemikiran Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur
Al Maturidi, sedangkan dalam bidang ilmu fiqih menganut Imam Madzhab 4 (Hanafi,
Maliki, Syafi’i, Hambali) serta dalam bidang tasawwuf menganut pada Imam Al
Ghazali dan Imam Junaid al Baghdad
Pemakaian istilah Aswaja dari masa kemasa digolongkan menjadi dua:
1. Masa Salafus
Shaalih (سلف
الصالح)
Pada masa
Salafus-Shaalih istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah itu digunakan untuk menyebutkan
golongan islam yang mendahulukan petunjuk Al-Qur’an dan mengikuti Sunnah Rasul
(إتباع
الرسول) dari pada petunjuk
yang lain, sekaligus memeliharanya dengan cara jama’ah.
2. Masa Khalfus Shaalih (خلف
الصالح)
Pada masa
Ulama’ Khalaf (ulama islam baru) istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah digunakan
untuk menyebut golongan islam yang selalu memegang teguh As-sunnah dan
bergabung dengan Jama’ah Ulama-Ulama yang berusaha mengikis faham-faham Bid’ah
di bawah sinar para pimpinan tokoh pembaharuan (تجديد) yang berusaha menghidupkan kembali nilai-nilai yang
telah pudar dari amalan-amalan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Pada waktu Rasulullah
masih hidup, segala persoalan dapat diselesaikan oleh beliau. Perkembangan
selanjutnya pada zaman sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan seterusnya banyak
persoalan baru muncul, yang pada zaman Nabi belum ada. Karena sulitnya cara
menentukan hukum berdasarkan Sumber Hukum yang ada yaitu Al Qur’an, Sunnah
Rasul, Ijma dan Qiyas dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in dan Ulama
penerusnya. Hal ini berjalan sampai tahun 500 H yaitu hampir ada 10 Madzhab. Namun setelah itu dari 10 madzhab yang ada meringkas menjadi 4 madzhab yang besar yaitu : Madzhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali yang digunakan di dunia Islam sampai
sekarang, kecuali yang anti madzhab.
Jadi bermadzhab disini berarti cara yang ditempuh
untuk mendapat kebenaran yang ada dalam Al Qur’an dan Hadits melalui pemahaman
atau hasil pemikiran Imam Mujtahid.
Adapun Hukum fiqih
Aswaja bersumber pada empat pokok :
1. Al-Qur’an, merupakan sumber hukum utama yang merupakan wahyu dari
Allah SWT.
2. As-Sunnah, sember hukum kedua, berupa Hadits (sabda) dan Sunnah
(Perilaku) Nabi yang merupakan penjelasan dan tauladan yang sesuai dengan Al
Qur’an.
3. Al-Ijma’, sumber hukum ketiga, yaitu kesepakatan para
Ulama atas suatu hukum setelah watar Nabi.
4. Al-Qiyas, sumber Hukum ke empat, yaitu menyamakan sesuatu
dengan sesuatu yang lain dalam hukum, karena adanya ‘illat yang
sama antara keduanya.
NU Dan Aswaja
Nahdlatul ‘Ulama adalah sebuah organisasi
yang didirikan oleh para ulama dengan tujuan memelihara tetap tegaknya ajaran
Islam Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia. Dengan demikian antara NU dan Aswaja
mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan, NU sebagai organisasi atau Jam
‘iyyah merupakan alat untuk menegakkan Aswaja dan Aswaja merupakan aqidah pokok
Nahdlatul ‘Ulama.
‘Ulama secara lughowi (etimologis) berarti orang yang pandai, dalam hal ini ilmu agama Islam. Begitu berharganya
seorang Ulama, sampai Nabi pernah bersabda yang artinya : “Ulama itu
pewaris Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewaiskan dirham atau dinar,
melainkan hanya mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambilnya maka ia telah
mengambil bagian yang cukup banyak.”.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan
tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiyai Hasyim Asy’ari
mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama.
Organisasi ini berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiyai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU,
bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan
dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur khususnya.
Lain dengan para
Ulama’ NU di Indonesia menganggap aswaja sebagai upaya pembakuan atau
menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan
tawazzun (seimbang) serta ta’addul (Keadilan). Perkembangan selanjutnya oleh
ketua umum PBNU Kyai Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan aswaja sebagai
metode berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan
yang berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi,
tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru yang sudah
mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern.
ASWAJA dalam kehidupan kekinian hanya
mampu dibaca dan didengar oleh generasi muda khususnya para
pelajar/peserta didik. Perang dalih dan argumentasi bahkan pembenaran atas
sikap yang dilakukan oleh generasi muda sering kali menafikan nilai-nilai luhur
Aswaja bahkan islam. Tidak terorganisirnya kaum muslim (ahlussunnah) dengan
baik serta bergesernya gaya hidup sederhana menjadi gaya hidup kapitalis,
mengakibatkan perubahan pola fikir dan perilaku generasi muda yang sangat
pragmatis dan sulit berkorban.
Untuk itu sangat penting pendidikan
Aswaja sejak dini ditanamkan kapada peserta didik
secara mendasar yang fungsinya
antara lain:
(a) menanamkan
nilai-nilai dasar Aswaja kepada peserta didik sebagai pedoman dan acuan dalam
menjalankan ajaran Islam.
(b) meningkatkan
pengetahuan dan keyakinan peserta didik terhadap paham Aswaja, sehingga mereka
dapat mengetahui sekaligus dapat mengamalkan ajaran-ajaran yang terkandung di
dalamnya.
(c) memperbaiki
kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelamahan peserta didik dalam menjalankan
ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari; dan
(d) memupuk
keyakinan peserta didik tentang ajaran Aswaja yang sesungguhnya, sehingga dapat
mengamalkan dan menjalankan ajaran Islam dengan benar dan penuh keyakinan.
Tujuan Pendidikan Aswaja bagi peserta didik baik di
tingkat dasar maupun menengah adalah
untuk memperkenalkan dan menanamkan nilai-nilai paham Aswaja dan secara
keseluruhan kepada peserta didik, sehingga nantinya akan menjadi muslim yang
terus berkembang dalam hal keyakinan, ketakwaan kepada Allah SWT., serta berakhlak mulia dalam
kehidupan individual maupun kolektif, sesuai dengan tuntunan ajaran Islam
Ahlussunnah Waljama’ah yang dicontohkan oleh jama’ah, mulai dari sahabat,
tabi’in, tabi’it tabi’in dan para ulama dari generasi ke generasi.
Apabila substansi dan
semboyan tersebut diatas dapat diwujudkan, maka dengan izin Allah akan terwujud
pula tatanan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur islam. Sehingga generasi
islam benar-benar mampu mendalami pesan Al-Quran dalam surat An-Nahl : 66
sebagai berikut:
وَإنًّ لـَكُمْ فِى الأنْعــَامِ
لـَعِـبْرَة ً نُسْقِيْكُمْ مِـمَّا فِى بُطـُوْنِهِ مِنْ بَيْنِ فـَرْثٍ وَدَمٍ
لَبَنـًا خـَالِصـًا سَائِغاً للشـَّارِبِيْنَ
Artinya: “sesungguhnya
pada binatang ternak itu terdapat pelajaran bagimu. Kami memberimu minuman dari
apa yang terdapat dalam perutnya, (berupa) susu yang bersih diantara kotoran (tahi) dan darah,
yang mudah ditelan dan menyegarkan bagi orang yang minum.
Maka
kebahagiaan dunia akhirat menjadi kenyataan, serta hidup di dunia yang hanya
sekali menjadi hidup yang berarti dan bermanfaat.
Amalan-amalan NU (Aswaja) semuanya ada dasar hukumnya. Salah satu contoh
adalah Tawasul.
Tawasul secara bahasa artinya mengambil perantara, secara istilah diartikan
sebagai salah satu cara berdo’a kepada Alloh SWT. dan salah satu dari beberapa
pintu tawajjuh kepada Alloh SWT. dengan menggunakan Wasilah (perantara), adapun
yang dituju dari tawasul ini adalah Alloh SWT. semata.
Ada beberapa dalil tentang
diperbolehkannya tawasul baik dalil Al’quran, as-sunnah maupun atsar.
Diantaranya firman Alloh SWT yang artinya: Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh SWT. Dan carilah perantara
untuk sampai kepada Alloh SWT. Berjihadlah kamu di jalan-Nya, mudah-mudahan
kamu dapat keuntungan.” (QS. Al-Ma’idah:35).
Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki
mentafsiri tentang ayat ini: Bahwa yang dimaksud dengan الوسيلة dalam ayat ini adalah setiap sesuatu yang dijadikan
pendekatan/perantara kepada Alloh SWT. lebih lanjut ia menjelaskan :
وَلَفْظُ اْلوَسِيْلَةِ عَامٌ فِى
اْلآيَهِ كَمَا تَرَى فَهُوَ شَامِلٌ لِلتَّوَاسُلِ بِالذَّوَاتِ اْلفَاضِلَةِ مِنَ اْلاَنْبِيَاءِ
وَالصَّالحِيِنَ فِى اْلحَيَاةِ وَبَعْدَ اْلمَمَاتِ وَباِلْاتِيْاَنِ
بِاْلاَعْمَالِ الصَّالِحَةِ عَلَى اْلوَجْهِ اْلمَأْمُوْرِ بِهِ وَلِلتَّوَاسُلِ
بِهَا بَعْدَ وُقُوْعِهَا.
Artinya: Seperti
yang kamu ketahui bahwa lafal الوسيلة pada ayat diatas bersifat umum yang memungkinkan artinya berwasilah
dengan dzat-dzat yang utama seperti para Nabi, orang-orang soleh, baik
dalam masa hidup mereka maupun sudah mati juga memungkinkan
diartikan berwasilah dengan amal-amal soleh dengan menjalankan amal-amal soleh itu
dan dijadikan perantara untuk mendekatkan diri kepada Alloh SWT.
Sekian, semoga mendapat
Ridlo Alloh SWT. dan bermanfaat, mohon maaf dan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
By: M. Yasin Affandi, S.Pd.I