Oleh: Nurul Winayanti
A. LATAR BELAKANG
Di era reformasi, perkembangan pendidikan yang
tumbuh mengakar dikalangan masyarakat muslim Indonesia mengalami babak baru
yang berbeda dengan masa sebelumnya. Hal ini tampak dari perkembangan dua
lembaga pendidikan Islam yang paling tua dan dominan, yakni madrasah dan
pesantren dalam aturan sistem pendidikan nasional yang dijabarkan melalui Undang-Undang No.
20 Tahun 2003.
UU
Sisdiknas telah menempatkan madrasah sebagai bagian pendidikan sekolah umum
yang tidak lagi terikat dengan sistem penyetaraan. Sebab kedudukan madrasah sama dengan sekolah umum
lain. Sementara pendidikan pesantren digolongkan kedalam pendidikan keagamaan
non-formal
yang diakui sebagai bagian sistem pendidikan nasional. Pesantren jika disandingkan dengan lembaga
pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua
saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous.
Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak
munculnya masyarakat Islam di nusantara pada abad ke-13.[1]
Sebagai
salah satu struktur internal dalam pendidikan Islam yang mapan secara historis
model pendidikan pesantren tertantang oleh pendidikan modern yang dibawa oleh
penjajah Belanda pada awal abad ke- 20 dan beberapa tokoh waktu itu berpikir
untuk mencari kemungkinan melibatkan pengembangan satu pendidikan umum, hal ini
terjadi karena pendidikan Islam dibiayai oleh rakyat sendiri.
Dengan
demikian pendidikan umum dapat direalisasikan dengan murah, tetapi karena
alasan politis
penggabungan sistem tersebut tidak terlaksana sebagai akibat logis dari
kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda yang tidak mau campur tangan dalam
persoalan Islam.[2]
Boleh
dikatakan pesantren menjadi terasing sejak zaman kolonial Belanda karena tidak mendapatkan pengakuan secara
politis. Pendidikan pesantren bukan saja terasing secara politis tetapi juga terasing dari lingkungan kehidupan
masyarakat sekitarnya. Sejak dahulu mereka mempunyai sebuah kehidupan
yang unik, yaitu mempunyai kecenderungan untuk membentuk suatu kultur
tersendiri atau dalam bahasa Gus Dur hal seperti ini adalah subkultur,[3] dari kultur yang ada di masyarakat. Walaupun
mereka hidup berdampingan dengan masyarakat, baik itu di daerah-daerah pedesaan
maupun di perkotaan, di lokasi pondok pesantren biasanya berdiri beberapa
bangunan fisik berupa rumah Kyia (pengasuh), Surau atau Masjid dan Asrama
Santri.
Menurut
Zamakhsyari Dhofier ada empat
elemen pokok dalam pesantren yang pertama adalah Kyai, Santri, pondok dan
kitab-kitab kuning.[4] Keempat elemen itu adalah merupakan ciri khas
dari pesantren yang ada di Indonesia karena keempatnya merupakan hal yang
berkaitan dalam tradisi pesantren.
Kegiatan
di pondok pesantren dipusatkan pada pemberian pengajian buku-buku teks (al-kutub
muqarrarah), semua kegiatan harus tunduk pada dan disesuaikan dengan
pembagian waktu pengajian, demikian pula tidak ada ukuran pasti tentang harus
berapa lama seorang santri menuntut ilmu di suatu pesantren karena hal ini diserahkan kepada santri sendiri, hal ini sangat berbeda
dengan lembaga pendidikan formal selain ada pembatasan waktu tertentu juga
ketika sudah purna akan mendapat sertifikat berupa ijazah.
Sedangkan pada pendidikan pesantren tidak ada model ijazah seperti
pendidikan umum karena keberhasilan pendidikan pesantren (seorang santri)
adalah dengan menggunakan ukuran adanya rasa ketundukan santri kepada Kyai dan
kemampuan untuk memperoleh ilmu dari Kyai.[5] Artinya peran Kyai masih menjadi titik sentral,
dan menjadi panutan atau keteladanan (uswatun hasanah) para santri, baik
itu dalam ibadah-ibadah ritual, kehidupan sehari-hari, maupun hal yang lainya. Sehingga rasa ta`dzim ilmu dari Kyai itu mengalir kepada santrinya
artinya transfer of knowledge dari hal inilah kemudian timbul konsep
ilmu yang barakah (ilmu yang bermanfaat).
Dalam
tradisi pesantren ilmu dipandang sebagai sesuatu yang agung, yaitu sebagai
sarana untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Berhasil atau tidaknya
perolehan ilmu oleh seorang santri tidak hanya didasarkan atas ketajaman akal,
ketetapan metode dan kesungguhan mencapainya, melainkan juga tergantung pada kesucian hati, restu atau
barokah dari Kiyai
dan upaya-upaya kegiatan ritual lainya seperti puasa, doa-doa dan riyadloh-riyadloh lainya. Dan
pandangan ilmu juga dianggap sebagai hidayah dari Allah SWT.[6]
Dalam perjalanan perkembangan zaman dan peradaban manusia dalam konteks
modernisasi, umat Islam tidak hanya memandang ilmu agama yang paling penting
akan tetapi kesetaraan pendidikan umum untuk mendalami ilmu dijenjang
pendidikan formal juga mutlak diperlukan.
Undang Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa salah satu tugas Negara adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk itu maka setiap warga Negara memiliki hak
untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang layak sesuai dengan perkembangan
zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan.[7]
Keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga tertua pendidikan keagamaan Islam di Indonesia telah banyak berperan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat. Sejarah perkembangan pondok pesantren menunjukan bahwa lembaga ini tetap eksis dan konsisten menunaikan fungsinya sebagai pusat pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam sehingga melahirkan kader ulama, guru agama, dan mubaligh yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Dalam rangka meningkatkan peran serta pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan masyarakat, beberapa pondok pesantren juga telah merealisasikan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Salah satu pondok pesantren yang menyelenggarakan Wajar Dikdas adalah pondok pesantren Raudlatul Mubtadi’in Ngagel Dukuhseti Pati, yang menjadi objek penelitian peneliti.
Keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga tertua pendidikan keagamaan Islam di Indonesia telah banyak berperan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat. Sejarah perkembangan pondok pesantren menunjukan bahwa lembaga ini tetap eksis dan konsisten menunaikan fungsinya sebagai pusat pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam sehingga melahirkan kader ulama, guru agama, dan mubaligh yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Dalam rangka meningkatkan peran serta pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan masyarakat, beberapa pondok pesantren juga telah merealisasikan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Salah satu pondok pesantren yang menyelenggarakan Wajar Dikdas adalah pondok pesantren Raudlatul Mubtadi’in Ngagel Dukuhseti Pati, yang menjadi objek penelitian peneliti.
Dari permasalahan penyelenggaraan pendidikan pondok pesantren yang
lulusannya tidak memiliki ijazah formal ternyata menimbulkan kerugian bagi
santri. Lulusan pondok pesantren tidak dapat melanjutkan pendidikan formal
kejenjang yang lebih tinggi misalnya kejenjang perguruan tinggi atau unversitas.
Permasalahan tersebut senada dengan yang
disampaikan oleh Menteri Agama H.
Muhammad Maftuh Basyuni[8], saat meresmikan Pondok Pesantren Perintis
Gontor Puteri VII di Kendari, 7 Oktober 2005, menyatakan:
“…Terlepas dari itu semua, betapapun juga pesantren-pesantren
yang jumlahnya amat besar itu mempunyai fungsi-fungsi tertentu, entah besar
atau kecil dalam proses perkembangan kehidupan masyarakat, terutama dalam
bidang pendidikan.Anak-anak muda yang tidak mempunyai kesempatan masuk di
sekolah, mereka yang tidak tertampung pada lembaga-lembaga pendidikan formal,
yang karena kemiskinan tidak mempu bersekolah atau karena sikap orang tua
mereka yang masih sederhana, menyebabkan mereka tidak bisa bersekolah. Maka lewat pendidikan tradisional di pesantren-pesantren inilah
setidak-tidaknya mereka memperoleh dasar-dasar pendidikan yang rasa-rasanya
cukup dan bermanfaat. Dengan kata lain, pesantren telah ikut berperan dalam
dinamika masyrakat Indonesia. Karena itu pesantren harus mendapat pengakuan ...”[9]
Melalui permasalahan pendidikan pondok pesantren tersebut di atas maka
program yang dicanangkan oleh pemerintah sangat memberikan angin segar bagi
pesantren khusunya bagi santri yang tidak mampu melanjutkan pendidikan
formalnya. Dengan demikian, peneliti akan menguraikan sejauh mana efektifitas
program tersebut terhadap perkembangan ilmu pengetahuan umum dikalangan santri.
Di pondok pesantren Raudlatul Mubtadi’in Ngagel terdapat sejumlah murid
yang hanya mengaji saja, dengan kata lain tidak sambil melanjutkan pendidikan
formalnya. Sehingga dengan adanya program wajar dikdas, pihak pengurus pondok
pesantren merasa terbantu. Karena disamping santri mendapatkan ilmu agama yang
cukup, mereka juga bisa melanjutkan ke sekolah formal sesuai jenjang yang
dipilih.
Wajar dikdas yang dilaksanakan oleh pondok pesantren Raudlatul Mubtadi’in
Ngagel selama ini mengacu pada peraturan pemerintah nomor: E/239/2001 tentang
penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar pada pondok pesantren
salafiyah.[10] Adapun pelaksanaan proses
belajar mengajar sepenuhnya dilaksanakan oleh pihak pondok pesantren dibawah
pengawasan dan kontrol dari kementerian agama Kabupaten Pati.
Adapun peserta wajar dikdas di Pondok Pesantren Raudlatul Mubtadi’in
sebanyak 17 santri atau sekitar 5,70% dari 300 jumlah santri yang ada. Kebanyakan yang ikut
adalah santri dari daerah pinggiran Kecamatan Dukuhseti yaitu sebanyak 11
santri (3,70%), sedangkan sisanya adalah santri yang dari luar Kecamatan
Dukuhseti dan ada beberapa yang dari Kabupaten lain sebanyak 6 santri (2%).
Atas dasar pemikiran di atas, peneliti tertarik untuk mengangkat sebuah
penelitian tentang implementasi wajar dikdas (Wajib Belajar Pendidikan Dasar)
dalam upaya meningkatkan pengetahuan umum
santri pondok pesantren Raudlatul Mubtadiin Ngagel Dukuhseti Pati.
B. PENEGASAN ISTILAH
1. Studi
Studi yaitu suatu
kajian, telaah; penelitian, penyelidikan ilmiah.[11] Studi yang
dimaksud adalah sebuah kajian penelitian mendalam, menyeluruh pada satu obyek
penelitian di Pondok Pesantren Roudlotul Mubtadi’in Ngagel Dukuhseti Pati Tahun 2013
2. Implementasi
Menurut kamus besar Indonesia implementasi berarti
pelaksanaan, penerapan hal yang disepakati lebih dahulu.[12]
3. Wajar Dikdas
Wajib Belajar ialah
gerakan nasional yang diselenggarakan di seluruh Indonesia bagi warga negara
yang berusia 7 tahun sampai 15 tahun untuk
mengikuti pendidikan
dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat, baik yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun masyarakat.[13]
Pendidikan Dasar adalah pendidikan umum yang lamanya 9
tahun dengan perincian 6 tahun di Sekolah Dasar atau yang setara 3 (tiga) tahun
di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau satuan pendidikan yang setara.
4. Ilmu Pengetahuan Umum
Ilmu pengetahuan umum adalah segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal
(mata pelajaran umum, seperti ilmu
yang dijadikan Ujian Nasional). Menurut Al-Ghozali ilmu pengetahuan itu
berasal dari Allah, tujuannya untuk mencari keridloan dan mengabdi kepada-Nya
semata, sedang manusia hanya mengembangkannya saja.[14]
Maksud pengembangan ilmu pengetahuan disini adalah
pengembangan kepribadian santri (perspektif psikologis) di PPRM.
5. Santri
Murid santren
(pesantren), calon rohaniawan Islam.[15]
Menurut Clifford Greetz, yang disebut santri dalam arti sempit adalah seorang
murid satu sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren.[16]
6. Pondok Pesantren
Pondok yaitu istilah
nama pesantren yang digunakan di Jawa dan Madura.[17] Pesantren
yaitu asrama dan tempat murid-murid: para santri belajar mengaji.[18] Jadi yang dimaksud pondok pesantren disini adalah
sebutan tempat/asrama bagi santri dimana para santri menetap dan menuntut ilmu
agama ditempat tersebut.
C. IDENTIFIKASI MASALAH
Dari permasalahan yang peneliti temukan dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1.
Ada sejumlah santri
yang belum memiliki ijazah formal dan tidak melanjutkan pendidikan formal.
2.
Santri yang putus
sekolah formal hanya mengutamakan pendidikan dipesantren dengan mengaji kitab
kuning saja.
3.
Kurangnya pemahaman
orang tua dikalangan pedesaan terhadap pentingnya melanjutkan pendidikan formal.
4.
Ada beberapa siswa
miskin sehingga orang tuanya tidak mampu menyekolahkan kejenjang yang lebih
tinggi.
D. RUMUSAN MASALAH
Adapun batasan
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana Implementasi Wajar Dikdas di Pondok Pesantren Raudlatul
Mubtadi’in Ngagel Dukuhseti Pati tahun 2013?
2.
Bagaimana pencapaian target implementasi wajar dikdas dalam meningkatkan
ilmu pengetahuan umum santri di Pondok Pesantren Raudlatul Mubtadi’in Ngagel
Dukuhseti Pati tahun 2013?
3.
Hal-hal apa sajakah yang menjadi faktor pendukung dan penghambat dalam
implementasi Wajar Dikdas di Pondok Pesantren Raudlatul Mubtadi’in Ngagel
Dukuhseti Pati tahun 2013?
E. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian yang ingin
dicapai dalam skripsi yang peneliti susun, adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui implementasi Wajar Dikdas di Pondok Pesantren Raudlatul
Mubtadi’in Ngagel Dukuhseti Pati tahun 2013.
2.
Untuk mengetahui pencapaian target implementasi wajar dikdas dalam
meningkatkan ilmu pengetahuan umum santri di Pondok Pesantren Raudlatul Mubtadi’in
Ngagel Dukuhseti Pati tahun 2013.
3.
Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi Wajar
Dikdas di Pondok Pesantren Raudlatul Mubtadi’in Ngagel Dukuhseti Pati tahun
2013.
F. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang dapat diperoleh dari
penelitian skripsi ini nantinya adalah sebagai berikut:
a. Manfaat
Teoritis
Melalui
tulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan tentang pentingnya pendidikan formal dilingkungan santri untuk
melegalkan ilmu pengetahuan umumnya dan pentingnya
manfaat kesetaraan ijazah untuk melnjutkan pendidikan formal kejenjang yang
lebih tinggi.
b. Manfaat
Praktis
1. Bagi
peneliti, manfaat yang dapat diperoleh yaitu untuk menambah wawasan dibidang wajib belajar pendidikan dasar yang dilaksanakan oleh pemerintah di lingkungan
pondok pesantren salafi.
2. Dapat
digunakan sebagai bahan masukan bagi ustadz
dan peneliti pendidikan di lingkungan pondok
pesantren bahwa wajar dikdas sebagai sarana untuk memiliki kesetaraan ijazah layak diberikan kepada para santri.
Sehingga para santri yang berkeiginan untuk melanjutkan ke jenjeng pendidikan
yang lebih tinggi dapat terpenuhi.
3.
Bagi pondok pesantren, hasil
penelitian ini semoga dapat dijadikan masukan atau acuan pondok pesantren dalam
mengembangkan pendidikan santrinya secara efektif dan efisien serta mampu mengikuti perkembangan yang dicanangkan oleh
pemerintah.
G. LANDASAN TEORI
1)
Konsep Wajar Dikdas
a.
Pengertian Pendidikan Dasar
Menurut
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pendidikan dasar adalah merupakan jenjang
pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.[19] Senada
dengan pendapat di atas, pengetian pendidikan dasar menurut Udin S. Saud adalah
jenjang terbawah dari sistem persekolahan nasional. Pendidikan dasar
diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan
dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta
mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti
pendidikan menengah.[20]
Dari pernyataan
tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan dasar adalah pendidikan yang lamanya
9 tahun yang pelaksanaannya 6 tahun di SD, dan 3 tahun di SMP. Pada
jalur luar sekolah, pemerintah menyediakan program paket A & B. Hal ini berarti,
pendidikan minimal yang harus diikuti atau dijalani oleh setiap warga negara
Indonesia adalah sampai dengan tingkat SMP atau sederajat. Pendidikan dasar 9
tahun tidak berarti bahwa SD dan SLTP menjadi bentuk satuan pendidikan yang
bersatu atau berada dalam satu atap tetapi tetap terpisah, meskipun keduanya
merupakan pendidikan dasar.[21]
b.
Karakteristik Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar memiliki beberapa
karakteristik. Secara umum dapat disebutkan sebagai berikut:
1.
Masa belajar pendidikan
dasar berlanjut hingga sembilan tahun lamanya.
2.
Pendidikan dasar
berfungsi membangun potensi dan kapasitas belajarpeserta didik, yang
menyangkut; rasa ingin tahu, percaya diri, keterampilan komunikasi
dan kesadaran diri.
3.
Pendidikan dasar
berperan sebagai pengembangan kemampuan baca-tulis hitung, dan bernalar,
memberikan basis teoritis keilmuan dasar serta melatih keterampilan
hidup dan dasar-dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c.
Tujuan Pendidikan Dasar
Selain memiliki beberapa
karakteristik seperti tersebut di atas, pendidikan dasar juga
memiliki beberapa tujuan dasar yang hendak dicapai. Secara global
pendidikan dasar dimaksudkan untuk “mengembangkan sikap dan kemampuan peserta
didik serta memberikan pengetahuan dan ketermpilan dasar yang diperlukan untuk
hidup dalam masyarakat dan juga mempersiapkan peserta didik dengan sejumlah
pengetahun dasar yang dapat dijadikan bekal untuk melanjutkan kejenjang
pendidikan berikutnya.”[23] Dalam
pengertian di atas, tujuan pendidikan dasar diorentasikan untuk memperkanalkan
konsep-konsep dan atau teori-teori dasar pengetahuan (basictheory of
knowledge) sebagai karangka dasar untuk bisa melanjutkan kejenjang
pendidikan berikutnya.
Dalam konteks ini
pula, aspek kelimuan yang diperkenalakan pada pendidikan dasar haruslah
memiliki karangka epistemologis yang jelas dan koheren dengan keilmuan yang
akan diterima anak pada jenjang pendidikan berikutnya. Sementara
secara legal formal- institusional, tujuan pendidikan dasar berarti pula untuk
memberikan ke-absahan bagi peserta didik untuk bisa melajutkan kejanjang
pendidikan berikutnya atau yang lebih tinggi yang dibuktikan dengan Surat
Tanda Tamat Belajar (STTB) atau ijazah sekolah dasar. Dalam konteks
dunia saat ini, STTB menjadi satu-satunya alat bukti yang absah dan diakui
bahwa yang bersangkutan telah tamat belajar. Hal ini berlaku pula pada
jenjang pendidikan lainnya.[24]
d.
Landasan Normatif Wajar Dikdas di Pondok Pesantren Salafiyah
Adapun penyelenggaraan
Program Wajar Dikdas pada Pondok
Pesantren Salafiyah mengacu pada beberapa landasan yuridis sebagai berikut :
1. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
3. Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
4. Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, yang telah diubah dan
disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1998;
5. Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, yang telah diubah
dan disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1998;
6. Peraturan
Pemerintah Nomor 73 Tahun 1971 tentang Pendidikan Luar Sekolah;
7. Peraturan
Pemerintah Nomor 39 Tahun 1992 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan
Nasional;
8. Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun;
9. Kesepakatan
Bersama antara Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama RI Nomor
1/U/KB/2000 dan Nomor MA/8672000 tentang Pondok Pesantren Salafiyah Sebagai
Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun;
10. Keputusan
Bersama Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama dan Dirjen Dikdasmen Departemen
Pendidikan Nasional Nomor: E/83/2000 dan Nomor: 166/C/KEP/DS-2000 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pondok Pesantren Salafiyah Sebagai Pola Wajib Belajar
Pendidikan Dasar.[25]
Beberapa keputusan
dan peraturan perundang-undangan di atas dijadikan sebagai landasan normatif
dalam melaksanakan program wajar dikdas pondok pesantren salafiyah. Melalui
peraturan yang dikeluarkan pemerintah diharapkan dapat menjadikan pedoman yang
resmi dalam melindungi program wajar dikdas. Ini merupakan bukti keseriusan
pemerintah dalam mengembangkan program pendidikan dasar sembilan tahun.
e.
Tujuan Wajar Dikdas
Tujuan program
wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada pondok pesantren salafiyah,
seperti yang tercantum pada buku panduan teknis penyelenggaraan program wajib
belajar pendidikan dasar pada pondok pesantren salafiyah, dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1)
Mengoptimalkan
pelayanan program nasional wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun
melalui salah satu jalur alternatif, dalam hal ini pondok peantren.
2)
Meningkatkan peran
serta pondok pesantren salafiyah dalam menyelenggarakan program wajib belajar
sembilan tahun bagi para santri, sehingga dapat memilki kemampuan setara dan
kesempatan yang sama untuk ke jenjang yang lebih tinggi. Program
wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada pondok pesantren salafiyah,
bukan lagi sebuah wacana, namun kini telah digulirkan dan dilaksanakan.
3)
Interaksi Santri
Sebagai sumbu utama dari dinamika sosial, budaya dan keagamaan masyarakat Islam
tradisional, pesantren telah membentuk suatu subkultur, yang secara sosial
antropologis bisa dikatakan sebagai masyarakat pesantren. Artinya apa yang
disebut psantren disitu bukan semata wujud fisik tempat belajar agama, dengan
perangkat bangunan agama, dengan perangkat bangunan, kitab kuning, santri dan
kiyainya.[26]
2)
Ilmu Pengetahuan Umum
a.
Pengertian Ilmu Pengetahuan Umum
Istilah ilmu pengetahuan adalah berasal dari dua istilah yaitu ilmu yang
artinya sebuah pengetahuan yang sistematik.[27] Mohamad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang
pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun
menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam. Pengetahuan adalah informasi kumulatif yang dapat diwariskan atau
ditranmisikan sehingga memungkinkan berkembangnya ilmu.[28]
Menurut Amin
Syukur ilmu pengetahuan dalam bahasa inggris disebut science dan dalam bahasa latin disebut scientia;
keduanya diambil dari bahasa Yunani sciere yang berarti mengetahui.[29] Pengetahuan dapat disebut science atau
pengetahuan saintifik jika memenuhi kriteria berikut:
a. Harus masuk dalam kategori intelektual yang
melalui proses nalar.
Ilmu pengetahuan sebenarnya tidak
hanya sebatas pada obyek-obyek realitas yang kongkrit saja, tetapi dapat
menjangkau apa yang tersembunyi dan apabila diekspresikan akan berwujud ide-ide
atau konsep. Ini semua hanya mungkin dimiliki oleh manusia saja.
b. Bersifat pasti
Ilmu pengetahuan harus dapat diuji
kebenarannya. Dalam hal ini tidak ada keraguan bagi orang yang menyelidiki atau
memahami konsep atau ide yang ditelurkan.
c. Harus melalui kajian yang mendalam tentang objek
yang dibahas.
Ilmu pengetahuan tidak hanya terbatas
dengan fakta-fakta, akan tetapi harus dilengkapi dengan fondasi-fondasi atau
kausa-kausa yang mendukung fakta tersebut. [30]
Dalam Ensiklopedia
Ilmu Pengetahuan ditulis bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu system dari
pelbagai pengetahuan yang masing-masing
mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu yang disusun sedemikian rupa
menurut asas-asas tertentu, sehingga menjadi satu kesatuan.[31] Sedangkan Poerwadarminta mendefinisikan Ilmu
pengetahuan sebagai segala sesuatu yang
diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran).
Dari berbagai pendapat
di atas, istilah ilmu pengetahuan dapat dirumuskan sebagai usaha pemahaman
manusia yang terstruktur dalam kenyataan, struktur, kategori,
variable-variabel, dan hukum-hukum mengenai realitas yang dikaji baik mengenai
alam, manusia maupun agama atau sistem kepercayaan yang kebenarannya teruji
secara empiris melalui penelitian dan eksperimen.
Berdasarkan
pemaparan di atas, jadi yang dimaksud Ilmu pengetahuan umum adalah
sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori yang disepakati dan dapat secara
sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu
tertentu yang pembenarannya sering digunakan dalam percakapan dan merupakan
suatu fakta yang umum. Ilmu pengetahuan umum yang dimaksudkan adalah ilmu
pengetahuan yang mempunyai muatan materi umum (non agama) seperti ilmu alam
atau IPA, B. Indonesia, Ilmu hitung yang disebut Matematika, ilmu sosial, dan
lain-lain.
b.
Sejarah Dikotomi Ilmu Agama dan Ilmu Pengetahuan Umum
Dalam kajian historis, dikotomi ilmu mulai muncul
bersamaan atau setidak-tidaknya beriringan dengan masa renaissance[32]
di Barat. Pada mulanya kondisi sosio-relegius maupun sosio-intelektual, dikuasai oleh gereja. Kebijakan-kebijakannya
mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan. Ajaran-ajaran Kristen dilembagakan
dan menjadi penentu kebenaran ilmiah.[33]
Bahkan semua penemuan hasil dari penelitian ilmiah
dianggap sah dan benar jika sejalan dengan doktrin-doktrin gereja. Akhirnya,
temuan-temuan ilmiah yang bertentangan dengan doktrin-doktrin tersebut, harus
dibatalkan demi supermasi gereja. Dalam kenyataannya, ternyata banyak para
ilmuan yang menentang peraturan tersebut dan tetap berpegang teguh terhadap
penemuan ilmiahnya.
Menurut Mujamil
Qomar (2005) dalam bukunya Epistimologi Pendidikan Islam mengutip dari Ismail
Raji Al-Faruqi, bahwa :
“...Barat
memisahkan kemanusiaan (humanitas) dari ilmu-ilmu sosial, karena pertimbangan-pertimbangan
metodologi. Menurut tradisi Barat bahwa standarisasi ilmiah, ilmu apa pun
termasuk ilmu sosial adalah adanya obyektivitas. Tidak boleh terpengaruh oleh
tradisi, idiologi, agama, maupun golongan, karena ilmu harus steril dari
pengaruh faktor-faktor tersebut. Sedangkan faktor kemanusiaan, lebih sering
menekankan pendekatan rasa manusiawi dalam menyikapi segala sesuatu, sehingga
lebih mengesampingkan obyektivitas. Dalam hal ini agaknya memang sulit untuk
dikompromikan...” [34]
Dalam dunia Islam, menurut Azyumardi Azra, dikotomi
keilmuan bermula dari historical accident atau kecelakaan sejarah, yaitu
ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian empiris,
rasio, dan logika mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqaha. Sehingga
terjadi kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain
atau kewajiban individu, sedangkan ilmu umum termasuk fardlu kifayah
atau kewajiban kolektif. Akibat faktor ini, umat dan Negara yang berpenduduk
mayoritas Islam saat ini tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknolgi (IPTEK).[35]
Dalam konteks sejarah Indonesia, dikotomi ilmu ini
dimulai sejak penjajahan Belanda yang berkepentingan untuk menjajah Indonesia
lebih lama dan tanpa ada perlawanan dari bangsa pribumi. Mereka kemudian
menebarkan kesan adanya pemisahan antara ilmu agama dan umum sehingga menjadi
paradigma umum di tengah masyarakat Indonesia: ilmu agama adalah urusan akhirat
sedang ilmu umum urusan dunia.[36]
Sampai saat ini jurang pemisahan
itu tetap terasa, dan bahkan menjadi haluan pendidikan di negara kita.
Ilmu-ilmu Islam, misalnya, ia berada di bawah Kemenag (Kementrian Agama),
sedang ilmu-ilmu umum berada di bawah Kemendikbud (Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan). Dikotomi tidak hanya pada ke mana dua alur pendidikan ini
berkiblat, tapi juga berpengaruh pada fasilitas, pengakuan, dan anggaran dana
dari APBN. Pendidikan umum ternyata lebih subur dibanding pendidikan agama.
3)
Pengertian Santri
Kata santri menurut etimologi berarti murid santren (pesantren), calon rohaniawan Islam.[37]
Menurut Clifford Greetz, yang disebut santri dalam arti sempit adalah seorang
murid satu sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren.[38]
Sedangkan menurut Nurcholis Majid santri berasal dari bahasa sansakerta “sastri”
yang artinya melek huruf, atau ada pendapat yang mengatakan bahwa perkataan
santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa dari kata “cantrik” yang
berarti seorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi
menetap.[39]
Prototipe santri ini dibagi menjadi dua yakni
santri yang menetap (santri mukim) dipesantren dan santri yang tidak menetap,
hanya datang untuk belajar dan pulang kembali ke rumah mereka tatkala pelajaran
usai. Prototipe santri yang terakhir ini juga dikelan
dengan istilah santri kalong atau santri nglaju.[40]
Berdasarkan pendapat di atas bisa kita simpulkan
bahwa santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan keagamaan baik
menetap di pondok pesantren ataupun tidak. Pengertian santri tidak hanya
sebatas pada siswa yang menempuh pendidikan dunia pesantren, akan tetapi santri
adalah sebutan bagi calon rohaniawan Islam yang mempersiapkan diri (belajar
ilmu agama) untuk bekal kehidupan selanjutnya (dunia untuk menempuh akhirat).
H. METODE PENELITIAN
Metode
digunakan untuk mendapatkan hasil penelitian yang dianggap sahih dan valid.
Selanjutnya metode dapat diartikan sebagai usaha untuk menemukan,
mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan dengan metode-metode
untuk penelitian.[41] Sehingga metode memiliki fungsi menguji
hasil-hasil penelitian yang seharusnya mampu memberikan gambaran yang sama
apabila ada pihak lain dalam kondisi yang sama melakukan penelitian. Metode
penelitian pada prinsipnya adalah suatu cara kerja untuk dapat memahami objek
dari ilmu yang bersangkutan.
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Dalam pembahasan skripsi ini jenis
penelitian yang penulis pergunakan yaitu field research (penelitian
lapangan) yaitu penelitian yang dilakukan di tempat terjadinya gejala-gejala
atau penelitian dengan peneliti terjun langsung ke lapangan.
Sedangkan jika
ditinjau dari pendekatan analisanya, penelitian ini termasuk penelitian kualitatif.
yang memiliki karakteristik bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan yang
sewajarnya atau sebagaimana adanya.[42] Adapun penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data
untuk memberikan gambaran penyajian laporan secara jelas.
2. Setting Penelitian
Dalam
penelitian ini peneliti mengambil lokasi di Pondok Pesantren Raudlatul Mubtadi’in Ngagel
Dukuhseti. Penelitian ini
dilaksanakan mulai bulan Agustus 2013 sampai dengan September 2013.
3. Subjek Penelitian
Subyek
penelitian adalah santri Pondok
Pesantren Raudlatul Mubtadi’in Ngagel Dukuhseti Pati yang mengikuti program
Wajib Belajar Pendidikan Dasar pada pesantren salafiyah dan para pengasuh
Pondok Pesantren Raudlatul Mubtadi’in Ngagel Dukuhseti Pati.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam usaha pengumpulan data-data
yang diperlukan penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut:
a.
Metode Observasi
Metode observasi adalah metode pengamatan dan
pencatatan dengan sistematik fenomena yang diselidiki.[43] Metode ini penulis gunakan untuk
mengamati, mengenal gejala peristiwa yang datang dari obyek, fasilitas belajar
mengajar sarana prasarana, situasi dan kondisi implementasi Wajar Dikdas di Pondok Pesantren Raudlatul Mubtadi’in Ngagel
Dukuhseti Pati.
b.
Metode Interview
Metode pengumpulan data dengan jalan
tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistem etika dan berlandaskan kepada
tujuan penyelidikan.[44]
Dalam penelitian ini penulis menggunakan interview. Metode ini penulis gunakan
untuk memperoleh data tentang tinjauan historis dan aktivitas pelaksanaan program wajar dikdas pondok pesantren
Raudlatul Mubtadiin Ngagel tahun 2013.
Adapun untuk
memperoleh data yang valid dan relevan, penulis memilih sumber informasi dari
koresponden sebagaimana berikut:
1) Informan Kunci
Informan kunci
adalah orang yang memberi data informasi; orang yang menjadi
sumber data dalam penelitian; narasumber
inti. Dalam hal ini, yang menjadi narasumber kunci adalah Kyai Pondok Pesantren
atau sering disebut pengasuh, ketua pondok pesantren, dan staff pondok bagian
pendidikan.
Tujuan dipilihnya
informan kunci adalah sebagai pemberi informasi secara valid tentang keadaan
pondok pesantren, program pendidikan di pondok pesantren, serta mampu
menjelaskan tentang realitas wajar dikdas di Pondok Pesantren Raudlatul
Mubtadi’in Ngagel.
2) Informan
Penulis memilih
informan diantaranya adalah santri pondok pesantren, meliputi santri alumni
wajar dikdas yang masih mondok dipesantren tersebut dan santri yang masih duduk
di bangku pendidikan wajar dikdas.
Tujuan dipilihnya
informan tersebut adalah untuk menggali informasi tentang efektifitas
pelaksanaan program wajar dikdas bagi para santri pondok pesantren. Selain itu
sebagai singkronisasi pernyataan dari
informan kunci.
c.
Metode Dokumentasi
Metode pengumpulan data mengenai data
tentang hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat
kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
leger, agenda dan sebagainya.[45]
Sumber lainnya berupa buku induk, buku raport. Metode ini penulis gunakan untuk
memperoleh data tentang struktur organisasi, personalia ustadz dan keadaan santri pondok pesantren Raudlatul Mubtadiin Ngagel
tahun 2013
5. Teknik Analisis Data
Penulisan skripsi yang bersifat
kualitatif ini diantaranya menggunakan analisis
model Miles and Huberman yang terbagi ke dalam tiga tahapan sebagai
berikut :
a.
Data reduction (Reduksi Data)
Yaitu merangkum,
memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang peting, dicari tema
dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang direduksi
akan memberikan gambaran yang jelas, dan mempermudah peneliti untuk
mengumpulkan data selanjutnya, dan mecarinya bila diperlukan.
b.
Data display (Penyajian Data)
Setelah data
direduksi maka langkah selanjutnya adalah penyajian data yang dapat dilakukan
dalam bentuk uraian singkat, bagan,
hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya.
c.
Conclusion
Drawing/verification (penarikan kesimpulan)
Langkah
ketiga dari penelitian Miles and Huberman adalah penarikan kesimpulan dan
verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan
berubah jika ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap
pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada
tahap awal, didukung oleh bukti yang valid dan konsisten maka kesimpulan yang
dikemukakan adalah kesimpulan yang kredibel
.[46]
I.
SISTEMATIKA
PEMBAHASAN
Mengingat penelitian ini dilakukan
dalam rangka memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana
Strata 1 dalam Ilmu Tarbiyah, maka laporan penelitian ini disusun dalam bentuk Skripsi dengan
sistematika sebagai berikut:
1. Bagian Muka
Bagian muka terdiri dari Halaman Judul, Nota Pembimbing,
Halaman Pengesahan, Halaman Motto, Halaman
Persembahan, Kata Pengantar dan Daftar Isi.
2. Bagian Isi
Bagian Isi merupakan bagian utama
dalam Skripsi. Penulis menyajikannya dalam lima bab berikut dengan sub bab
masing-masing.
BAB I :
PENDAHULUAN
Bab Pendahuluan ini berisi Latar belakang
masalah, Penegasan
Istilah, Identifikasi
Masalah, Rumusan
Masalah, Tujuan
Masalah, Manfaat
penelitian, Sistematika
penelitian
BAB II : LANDASAN TEORI
|
|
Pada bab ini disajikan beberapa teori yang menjadi landasan
pembahasan dalam penelitian secara keseluruhan. Adapun landasan teori yang
dimaksud adalah teori tentang; a. konsep Wajar Dikdas , meliputi; Pengertian Wajar Dikdas, Landasan Wajar Dikdas Pondok
Pesantren ,Tujuan Wajar Dikdas Pondok Pesantren Salafi. b. Ilmu Pengetahuan Umum, meliputi; Pengertian Ilmu Pengetahuan, Ilmu Pengetahuan Umum, serta santri pondok pesantren.
|
BAB III : METODE PENELITIAN
Adapun pada bab III tentang metode
penelitian, penulis menjabarkan melalui Jenis dan
Pendekatan Penelitian, Fokus Penelitian, Lokasi dan Waktu Penelitian, Subjek Penelitian, Desain Penelitian, Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data dan Teknik Analisis Data.
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis mendeskripsikan data-data yang
telah diperoleh selama proses penelitian dilakukan. Data-data yang dimaksud
dijabarkan dalam beberapa bagian; pertama,
tentang Gambaran Umum Pondok Pesantren Raudlatul
Mubtadi’in Ngagel Dukuhseti Pati. Kedua,
Implementasi Wajar Dikdas di Pondok Pesantren
Raudlatul Mubtadi’in Ngagel Dukuhseti Pati. Ketiga, Pencapaian target implementasi wajar dikdas dalam meningkatkan ilmu
pengetahuan umum santri di Pondok Pesantren Raudlatul Mubtadi’in Ngagel
Dukuhseti Pati tahun 2013. Keempat, Faktor pendukung dan penghambat
dalam implementasi Wajar Dikdas di Pondok Pesantren Raudlatul Mubtadi’in Ngagel
Dukuhseti Pati tahun 2013.
BAB V : PENUTUP
Pada bab ini penulis akan menyajikan simpulan dan saran.
3. Bagian Akhir
Bagian akhir ini berisi Daftar Pustaka,
Lampiran-Lampiran, dan Daftar Riwayat Hidup Penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Imam, Ihya Ulumuddin, terj. Zeid Husein Al-Hamid Jakarta:Pustaka Amani, 2007.
Arikunto,
Suharsimi , Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: Rineka Cipta, 2006.
Asrohah, Hanun, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 2001.
DepDikBud, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1993), Cet. 4.
Dirjen
Kelembagaan Agama Islam RI, Panduan
Teknis Penyelenggaraan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Pada Pondok
Pesantren Salafiyah, Jakarta: 2001.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi
Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
Jakarta: LP3S, 1982
Fealy, Greg , Ijtihad
Politik Ulama’, Sejarah NU 1952-1967, Yogyakarta: LKiS, 2007,
Cet.7.
Hadi, Sutrisno Validitas
Reabilitas Analisis Sistem dan Tehnik Korelasi, Yogyakarta : Fak.
Psikologi UGM, 1995.
http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45 (Pembukaan
Undang-Undang Republik Indonesia tahun 1945) di akses pada tanggal 27 Mei 2013.
Madyo Eko Susilo dan
R.B Kasihadi, Dasar-Dasar Pendidikan, Semarang: Effar
Publishing, 1993.
Muhadjir, Noeng,
Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake
Sarasin, 2002.
Pius A Partanto dan M
Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arloka K, 2001.
Praja, Juhaya S, Filsafat dan
Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, Bandung:
Teraju, 2002.
Prasetyo, Agus, Wajar Dikdas
9 tahun di Pondok Pesantren, 27 Mei 2013. http://cridealits.blogspot.com/2011/05/wajar-dikdas-9-tahun-di-pondok.html
Sahim
A’yun, KarakteristikPendidikan Dasar, Menengah dan Tinggi, 12
April 2010. 29 Mei 2013. http://pandidikan.blogspot.com/2010/04/
Sampurna K, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Cipta Karya, 2003.
Santa, Karakteristik
Pendidikan Dasar, 25 Juli 2011, diakses pada tanggal 29 Mei 2013. http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2190355
Saud, Udin S., Substansi Pendidikan Dasar dalam Program Wajib Belajar 9 Tahun, Makalah disampaikan pada Seminar dan lokakarya
UPI, 2008.
Sugiyono, Metode
Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D,
Bandung : Alfabeta, 2007.
Syukur, Amin , dkk., Metodologi
Studi Islam, Semarang: Gunungjati, 1998.
Tamyiz, Burhanuddin, Akhlaq
Pesantren Solusi Bagi Kerusakan Akhlaq,
Yogyakarta: ITTAQA Press, 2001.
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
Wahid, Abdurrahman, Menggerakkan
Tradisi, Esai-Esai tentang Pesantren, Yogyakarta, LkiS, 2000.
Yasmadi, Modernisasi
Pesantren, Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional,
Ciputat: Quantum Teaching, 2005.
Yunus, Mahmud, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara Sumber Widya Offset,
1962.
[1] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya Offset,
1962), 11.
[3]
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan
Tradisi, Esai-Esai tentang Pesantren, (Yogyakarta, LkiS, 2000), 1.
[4] Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
(Jakarta: LP3S, 1982), 44.
[6] Burhanuddin Tamyiz, Akhlaq Pesantren
Solusi Bagi Kerusakan Akhlaq, (Yogyakarta: ITTAQA Press, 2001), 50.
[7] http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45 (Pembukaan
Undang-Undang Republik Indonesia tahun 1945) di akses pada tanggal 27 Mei 2013.
[8] adalah Menteri Agama pada Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode 2004 –
2009.
[9] Agus Prasetyo, Wajar
Dikdas 9 tahun di Pondok Pesantren, 27 Mei 2013. http://cridealits.blogspot.com/2011/05/wajar-dikdas-9-tahun-di-pondok.html
[10] Dirjen
Kelembagaan Agama Islam RI, Panduan
Teknis Penyelenggaraan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Pada Pondok
Pesantren Salafiyah, (Jakarta:2001), 1.
[14]Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin,
terj. Zeid Husein Al-Hamid (Jakarta:Pustaka Amani, 2007), 4.
[16] Yasmadi,
Modernisasi
Pesantren, Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, 2005,
Ciputat: Quantum Teaching, 61.
[20] Udin S. Saud, Substansi
Pendidikan Dasar dalam Program Wajib Belajar 9 Tahun, (Makalah
disampaikan pada Seminar dan lokakarya UPI, 2008), 3.
[21] Madyo Eko Susilo dan R.B
Kasihadi, Dasar-Dasar Pendidikan, (Semarang: Effar
Publishing, 1993), 80.
[22] Santa, Karakteristik
Pendidikan Dasar, 25 Juli 2011. 29 Mei 2013.
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2190355
[23] Sahim A’yun, KarakteristikPendidikan
Dasar, Menengah dan Tinggi, 12 April 2010. 29 Mei 2013.
http://pandidikan.blogspot.com/2010/04/
[27] Juhaya S Praja, Filsafat dan Metodologi
Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, (Bandung: Teraju, 2002), 4.
[32] Renaissance adalah suatu periode
sejarah di mana perkembangan kebudayaan Barat memasuki periode baru dalam semua
aspek kehidupan manusia, seperti ilmu-ilmu pengetahuan, teknologi, seni dalam
semua cabang, perkembangan sistem kepercayaan, perkembangan sistem politik,
institusional, bentuk-bentuk sistem kepercayaan yang baru dan lain-lain. Lebih jelasnya lihat di Wikipedia, Pengertian Renaisance, 2012. 6
September 2013. http://www.tuanguru.com/2012/02/pengertian-renaissance.html
[33] Muhammad Cholil Nafis, Meretas Dikotomi Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, 3 Juni 2013. 1 Agustus 2013. http://info-umat.blogspot.com.
[36] Abdurrahman Shaleh, Pendidikan Agama di Sekolah Umum
(Visi, Misi, dan Aksi), (Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000), 1.
[37] Pius A Partanto dan M.
Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arloka,
2001), 693.
[38] Yasmadi, Modernisasi
Pesantren, Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Ciputat:
Quantum Teaching, 2005), 61.
[39] Tim Pakar Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer,
(Malang: UIN Malang Press, 2009), Cet. I, 83-84.
[40] M. Badrus Sholeh, Kiai,
Pesantren dan Tradisionalisme Islam Jawa (Telaah Buku “Tradisi Pesantren; Studi
Tentang Pandangan Hidup Kiai” Karya Zamakhsyari Dhofier), 26 Januari 2010. 6 Juni 2013. http://mas-badrus.blogspot.com/2010/01/kiai-pesantren-dan-tradisionalisme.html
[41] Sutrisno Hadi, Validitas Reabilitas
Analisis Sistem dan Tehnik Korelasi, (Yogyakarta : Fak.
Psikologi UGM, 1995), 70.
[43] Hadi, 136
[45] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), 188
[46] Sugiyono, Metode Penelitian
Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung : Alfabeta, 2007), .337-345.