Oleh: Muhammad
Sholeh, S.Ag.,M.Pd.I
Pendahuluan
Pengajaran
ilmu-ilmu di lembaga pendidikan seharusnya tidak memisahkan antara ilmu-ilmu
agama dan umum. Sebab, cara seperti itu merupakan bentuk sekularisme.
"Lembaga ke-Islaman harus melaksanakan paradigma baru yaitu menghapuskan
dikotomi yang sekarang terjadi antara ilmu pengetahuan umum dengan ilmu agama. Peradaban
Islam pada era klasik pernah berjaya selama lima abad silam antara lain karena
tidak ada dikotomi (pemisahan) antara ilmu umum dan agama. Karena
itu, kaum muslimin saat ini harus mencontoh masa kejayaan Islam pada era klasik
(sekitar abad ke-8 hingga abad ke-13 M) yang tidak melakukan proses
dikotomisasi antara ilmu pengetahuan umum dengan ilmu agama. Proses dikotomisasi
kedua jenis ilmu tersebut terjadi setelah kecemerlangan peradaban Islam meredup
dan dilanjutkan oleh hegemoni peradaban Barat yang mementingkan sekularisasi.
Dengan adanya sekularisasi yang memisahkan paham agama dengan berbagai bidang
kehidupan lainnya, maka terjadi pula proses dikotomisasi pula antara ilmu
pengetahuan umum dengan ilmu agama. Teks di atas sebagian
dari sambutan
Menteri Agama Maftuh Basyuni dalam acara pembukaan Semiloka Prototipe Islamic
Centre di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis, tanggal 31 Januari 2013
Masyarakat diharapkan dapat menghilangkan
dikotomi antara ilmu umum dan agama yang diperkirakan memberikan pengaruh
kurang baik dalam peningkatan kualitas umat Islam. Fenomena yang kurang baik
tersebut masih tercipta di kalangan masyarakat. Kondisi itu menyebabkan
banyaknya elemen masyarakat yang meninggalkan ilmu umum dan lebih mengejar ilmu
agama dengan alasan keagamaan. Ada kesan,
mempelajari ilmu agama itu berpahala, sedangkan mempelajari ilmu umum tidak
berpahala. Dikotomi ilmu agama dan umum itu harus
diakhiri, sehingga kesan ilmu pengetahuan dalam Islam hanya berupa ilmu fikih,
tafsir, dan tasawuf saja dapat dihilangkan. Meski
upaya untuk menguasai ilmu agama sangat ditekankan, tetapi umat Islam tidak
boleh meninggalkan ilmu umum yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
“Ilmu umum sangat dibutuhkan untuk mengungkap dan mempelajari berbagai
kekuasaan Allah SWT yang tidak tersurat dalam Alquran. Contohnya,
al-Quran
menyebutkan bahwa langit dan bumi milik Allah SWT, tetapi tidak merinci isi dan
kandungan bumi yang dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dengan ilmu
pengetahuan umum, akhirnya diketahui bahwa Allah SWT menyiapkan berbagai unsur
dalam bumi yang dapat diolah untuk kebutuhan manusia. Teks di atas adalah
sebagian sambutan Menteri Agama Suryadharma Ali dalam
pelantikan Asosiasi Majelis Taklim Indonesia (AMTI) Sumatera
Utara di Asrama Haji Medan, Jumat (21/3), (Republika, Jumat, 21 Maret 2014)
Persoalan dikotomi adalah persoalan yang selalu menarik
untuk dipersoalkan yaitu pemisahan antara ilmu dan agama. Menjadi hal yang klasik dan menjadi perdebatan umum dalam
dikotomi ilmu dalam Islam hal ini dapat kita lihat orang masih membedakan
“ilmu-ilmu agama” (al-‘ulum al-diniyyah atau religious sciences)
dengan “ilmu-ilmu umum” (general sciences).
Dikotomi yang mulai muncul dan mapan sejak abad pertengahan
sejarah Islam ternyata masih bertahan di kalangan para pemikir dan praktisi
pendidikan di banyak wilayah dunia muslim termasuk Indonesia baik pada tingkat
konsepsi maupun kelembagaan pendidikan (Azyurmardi Azra, 2002:101). Dan tragisnya paham dikotomi ilmu ini bertahan sampai pada
era masa kini.
Pengertian Dikotomi Ilmu
Secara
harfiah dikotomi berasal dari bahasa Inggris yaitu “dichotomy” yang artinya membedakan
dan mempertentangkan dua hal yang berbeda. Kata yang dalam bahasa Inggrisnya “dichotomy”
tersebut, digunakan sebagai serapan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
“dikotomi” yang arti harfiahnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan.(Tim Penyusun Kamus Pusat
Bahasa, 2001:264) Mujamil Qomar mengatakan bahwa dikotomi adalah pembagian atas
dua konsep yang saling bertentangan. (Mujamil Qomar, 2006:74). Selanjutnya Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry
mengartikan bahwa dikotomi sebagai pembagian dalam dua bagian yang saling
bertentangan. (Pius
A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, 1994:110). Sedangkan
Yuldelasharmi dalam Samsul Nizar mengartikan bahwa dikotomi sebagai
pemisahan secara teliti dan jelas dari suatu jenis menjadi dua yang terpisah
satu sama lain, dimana yang satu sama sekali tidak dapat dimasukkan ke dalam
yang satunya lagi dan sebaliknya. (Samsul Nizar, 2009:230). Maka ketika menempatkan sesuatu pada
dua kutub yang saling berlawanan dan antara dua kutub yang berbeda tersebut
sulit diintegrasikan. Sikap tersebut telah menunjukkan sikap dikotomi.
Dikotomi ilmu adalah sikap yang membagi atau membedakan ilmu
secara teliti dan jelas menjadi dua bentuk atau dua jenis yang dianggap saling
bertentangan serta sulit untuk diintegralkan. (Baharuddin, Dkk.,
2011), :44). Dengan demikian, apapun bentuk
pembedaan secara diametral terhadap ilmu secara bertentangan adalah berarti
dikotomi ilmu.
Sebab Munculnya Dikotomi Ilmu
Sebab munculnya dikotomi (dualisme) ilmu yang dapat di
analisis diantaranya:
a.
Dikotomi ilmu
merupakan warisan dari zaman kolonial belanda, Karena anak-anak yang bisa masuk
sekolah belanda sebelum kemerdekaan hanya 6% dan terbatas bagi anak-anak kaum
bangsawan dan saudagar, maka anak-anak orang Islam memilih Madrasah atau Pondok
Pesantren yang memang sudah ada sebelum munculnya sekolah-sekolah yang
didirikan pemerintah kolonial belanda. (Jasa Ungguh
Muliawan, ,2005: 206).
Sistem
pendidikan masa Kolonial Belanda sangat diwarnai oleh dualisme pendidikan. Di
satu sisi, adanya politik etis tersebut pemerintah menyetujui untuk memberikan
politik balas jasa bagi pribumi dengan memberikan kesempatan memperoleh
pendidikan. Namun di sisi lain, pribumi tetap dipelihara seperti sediakala.
Pendidikan yang diberikan pada pribumi jelas tidak sama dengan pendidikan yang
diberikan pada anak-anak Belanda, Tionghoa, dan Eropa lainnya. Hanya anak kaum
bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki sekolah seperti MULO, AMS, dan
HBS. Akibatnya pemerintah tetap melestarikan rust en orde, yaitu sebuah
kestabilan politik di bawah kendali ratu Belanda, sehingga dapat menekan
benih-benih ketidakpuasan dari kaum intelektual yang mungkin terlahir dari
sistem dan kebijakan Belanda sendiri. Betapa sulitnya kaum pribumi untuk
menaiki tangga mobilitas sosial. Hambatan sosial yang berupa latar keningratan
dan kebangsawan menjadi batu sandungan yang berat bagi anak bangsa yang ingin
memperbaiki nasib diri dan bangsa. Bagi mereka yang tak sempat mengenyam bangku
AMS dan HBS, tentu saja lebih memilih memasuki jenjang pendidikan guru yang
setingkat dengan MULO dan AMS sendiri namun dengan kualitas keilmuan dan gengsi
di bawahnya.
b.
Ketika hancurnya
sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan perpustakaan Islam karena mengamuknya
tentara mongol yang meludeskan kota Baghdad serta dihancurkannya kekuatan umat
Islam di Spanyol dan terbunuhnya banyak ilmuan (Samsul Nizar, 2008:230).
Maka dengan berakhirnya pemerintahan Abbasiyah di Baghdad (1258 M) ikut
mengakhiri kejayaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang dirintis oleh para
filsuf yang telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dimasa-masa selanjutnya. Masa kemunduran ini dikonotasikan dengan
kemunduran pendidikan yang ditandai kemunduran intelektual (Suwito, 2005:273).
Dan pada masa itu pula perkembangan umat islam mengalami masa stagnan atau
kemunduran sejak Abad pertengahan (tahun 1250-1800 M) yang pengaruhnya bahkan
masih terasa sampai kini (Abd. Rahman Assegaf, 2005:31)
c.
Krisis konseptual,
atau terjadinya pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam, yaitu ilmu-ilmu keduniaan (general
sciences), yang kemudian dihadapakan dengan ilmu-ilmu agama (al-‘umum
al-diniyyah/religious sciences) (Azyurmardi Azra, 2002: 114).
Sehingga hal ini berimplikasi bukan hanya pada tataran bidang keilmuan itu
sendiri, tapi juga hal ini menyebabkan terjadinya gap pada bidang kelembagaan,
yang selanjutnya juga akan menimbulkan krisis kelembagaan. Hilangnya budaya
berfikir rasional seperti ini dikalangan umat islam, dalam sejarah islam kita
tahu bahwa ada dua corak pemikiran yang selalu mempengaruhi cara berfikir umat
islam yaitu pola pemikiran yang brsifat tradisional yang selalu mendasarkan
diri pada wahyu yang kemudian berkembang menjadi pola pemikiran sufistik, yang
memperhatikan aspek batiniah dan pola pemikiran yang rasional saja, kemudian
pola pemikiran empiris rasional yang mementingkan akal pikiran (Samsul Nizar,
2008:233-234
d.
Dikotomi keilmuan
bermula dari historical accident atau kecelakaan sejarah, yaitu ketika
ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio,
dan logika mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqaha (Abdul Munir Mulkhan,
1998:87). Sehingga terjadi kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong fardlu
‘ain atau kewajiban individu, sedangkan ilmu umum termasuk fardlu
kifayah atau kewajiban kolektif (Abdul Munir Mulkhan, 1998:115). Akibat
faktor ini, umat dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini
tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK).
e.
Krisis kelembagaan.
Adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan pada
salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada, apakah ilmu-ilmu agama ataukah
ilmu-ilmu umum. Hal ini dapat pula
berimpilkasi mulai dari segi pendanaan pendidikan yang dibawah naungan
Kemendikbud dan Kemenag sangat jauh berbeda, sehingga hal ini pula dapat
berimplikasi pada penunjang sarana dan prasarana.
f.
Dikotomi dalam
pendidikan islam timbul akibat dari faktor perkembangan pembidangan ilmu
itu sendiri, yang bergerak demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang
disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya. Hal ini
menyebabkan jarak ilmu dengan induknya, filsafat, dan antara ilmu agama dengan
ilmu umum, kian jauh. Epistemologi merupakan salah satu wilyah kajian filsafat
yang di sebut juga dengan filsafat ilmu (philosophy of knowledge). (Abd. Rahman
Assegaf, 2005:68). Seperti
contoh ketika filsafat sebagai induk segala ilmu (mother all of sciences) mengalami pembidangan dalam struktur ilmu,
misalkan ilmu pendidikan akan pecah menjadi cabang psikologi pendidikan,
teknologi pendidikan, dst. Hal ini menyebabkan munculnya spesialisasi keilmuan.
g.
Faktor internal
kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya pembenahan dan
pembaruan akibat kompleksnya problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan
budaya yang dihadapi umat dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam.
Akibat Dikotomi Ilmu
Dampak
dari dikotomi ilmu sebenarnya sangatlah besar, dan persoalan ini yang
menjadi salah satu yang faktor kemunduran pada umat Islam. Realitas
tersebut sederhana dapat dilihat, misalnya dalam dunia pendidikan, banyak
sarjana agama yang mengabaikan dan tidak paham ilmu umum sehingga tidak
mampu menjawab problematika keilmuan dan tekhnologi modern, sehingga
menghambat penyebaran nilai-nilai Islam dalam ranah yang lebih luas.
sebaliknya banyak sarjana umum yang tidak paham agama, sehingga berefek pada
dekadensi moral, dan tentu ini merusak
Upaya
menghapus Dikotomi Ilmu
Untuk menghapus dikotomi ilmu, maka
kita selaku insan akademik, praktisi pendidikan dan sebagai pendidik perlu
mengupayakan secara maksimal dan kongkret.
Langkah-langkah yang perlu dilaksanakan dalam
rangka upaya
menghapus dikotomi ilmu adalah:
1.
Pemahaman atau paradigma masyarakat tentang pemisahan
“ilmu-ilmu agama” (al-‘umum al-diniyyah atau religious sciences)
dengan “ilmu-ilmu umum” (general sciences) dapat dipatahkan dengan cara
bahwa pemisahan (pengdikotomian ini) hanyalah sebuah wujud “historical
accidetn (kesalahan sejarah)” proses ideologisasi penyebaran keIslaman
2.
Penyebaran pemahaman bahwa ilmu itu satu, semua dari Allah
swt.
3.
Para ahli (praktisi) pendidikan mampu mencontohi atau
setidaknya menjadikan pelajaran bahwa intelektual-intelektual muslim terdahulu
sebut saja misalnya asy- Syafi’I yang mampu mensinegrikan ilmu ushul fiqh dan
filsafat Aristoteles dan masih banyak pemikir-pemikir muslim lainnya yang
menorehkan sejarah kebangkitan.
4.
Pada prinsipnya dikotomi keilmuan (pendidikan) dan akhirnya
sampai pada tingkat kelembagaan, disebabkan ketiadaan pembedaan antara
pendidikan Islam sebagai ilmu dengan Pendidikan Islam sebagai Lembaga
Pendidikan. Ketidak jelasan ini terlihat dengan ketidakmampuan membedakan
antara pendidikan Islam dengan pendidikan agama Islam.
5.
Madrasah secara historis, sebagai upaya penyatuan
antara pendidikan ala eropa dan ala pesantren.
6.
Mampu menghasilkan pendidikan yang mensinegrikan dua ilmu
ini.
Penutup
Upaya penyatuan ilmu perlu dimulai dari pemahaman yang
benar, langkah yang kongkret, dan dimulai dari cara guru mendidik, dengan cara
diantaranya:
a. Guru diharapkan mampu menyatukan mata pelajaran
semisal IPA menjelaskan tentang bumi, seorang guru bisa mengambil satu ayat
yang berhubungan dengan bumi. Guru IPS ketika menjelaskan tentang gempa,
bencana alam, gunung berapi, bisa mengambil satu ayat yang menjelaskan tentang
bahasan tersebut, guru PKn ketika menjelaskan tentang demokrasi bisa
menyampaikan satu ayat yang berhubungan dengan demokrasi
b. Setiap guru bisa menghubungkan dengan agama, atau
agama dihubungkan dengan ilmu umum
c. Pengambilan ayat al-Qur’an bisa melalui cara
konvensional dan cara elektronik yaitu melalui al-Qur’an Digital
d. Dalam bahasa kurikulum 2013, kata tematik mungkin
tidak hanya diberlakukan di SD/MI, tetapi sebagian mata pelajaran perlu
menggunakan cara tematik juga.
Demikian artikel ini, perbubahan yang besar
harus dimulai dari yang kecil, dimulai dari diri kita dan dimulai sekarang
juga. Semoga bermanfa’at.