Tuesday, October 24, 2017

MENGHAPUS DIKOTOMI ILMU

Oleh: Muhammad Sholeh, S.Ag.,M.Pd.I
Pendahuluan
Pengajaran ilmu-ilmu di lembaga pendidikan seharusnya tidak memisahkan antara ilmu-ilmu agama dan umum. Sebab, cara seperti itu merupakan bentuk sekularisme. "Lembaga ke-Islaman harus melaksanakan paradigma baru yaitu menghapuskan dikotomi yang sekarang terjadi antara ilmu pengetahuan umum dengan ilmu agama. Peradaban Islam pada era klasik pernah berjaya selama lima abad silam antara lain karena tidak ada dikotomi (pemisahan) antara ilmu umum dan agama. Karena itu, kaum muslimin saat ini harus mencontoh masa kejayaan Islam pada era klasik (sekitar abad ke-8 hingga abad ke-13 M) yang tidak melakukan proses dikotomisasi antara ilmu pengetahuan umum dengan ilmu agama. Proses dikotomisasi kedua jenis ilmu tersebut terjadi setelah kecemerlangan peradaban Islam meredup dan dilanjutkan oleh hegemoni peradaban Barat yang mementingkan sekularisasi. Dengan adanya sekularisasi yang memisahkan paham agama dengan berbagai bidang kehidupan lainnya, maka terjadi pula proses dikotomisasi pula antara ilmu pengetahuan umum dengan ilmu agama. Teks di atas sebagian dari sambutan Menteri Agama Maftuh Basyuni dalam acara pembukaan Semiloka Prototipe Islamic Centre di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis, tanggal 31 Januari 2013
Masyarakat diharapkan dapat menghilangkan dikotomi antara ilmu umum dan agama yang diperkirakan memberikan pengaruh kurang baik dalam peningkatan kualitas umat Islam. Fenomena yang kurang baik tersebut masih tercipta di kalangan masyarakat. Kondisi itu menyebabkan banyaknya elemen masyarakat yang meninggalkan ilmu umum dan lebih mengejar ilmu agama dengan alasan keagamaan. Ada kesan, mempelajari ilmu agama itu berpahala, sedangkan mempelajari ilmu umum tidak berpahala. Dikotomi ilmu agama dan umum itu harus diakhiri, sehingga kesan ilmu pengetahuan dalam Islam hanya berupa ilmu fikih, tafsir, dan tasawuf saja dapat dihilangkan. Meski upaya untuk menguasai ilmu agama sangat ditekankan, tetapi umat Islam tidak boleh meninggalkan ilmu umum yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. “Ilmu umum sangat dibutuhkan untuk mengungkap dan mempelajari berbagai kekuasaan Allah SWT yang tidak tersurat dalam Alquran. Contohnya, al-Quran menyebutkan bahwa langit dan bumi milik Allah SWT, tetapi tidak merinci isi dan kandungan bumi yang dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dengan ilmu pengetahuan umum, akhirnya diketahui bahwa Allah SWT menyiapkan berbagai unsur dalam bumi yang dapat diolah untuk kebutuhan manusia. Teks di atas adalah sebagian sambutan Menteri Agama Suryadharma Ali dalam pelantikan Asosiasi Majelis Taklim Indonesia (AMTI) Sumatera Utara di Asrama Haji Medan, Jumat (21/3), (Republika,  Jumat, 21 Maret 2014)
Persoalan dikotomi adalah persoalan yang selalu menarik untuk dipersoalkan yaitu pemisahan antara ilmu dan agama. Menjadi hal yang klasik dan menjadi perdebatan umum dalam dikotomi ilmu dalam Islam hal ini dapat kita lihat orang masih membedakan “ilmu-ilmu agama” (al-‘ulum al-diniyyah atau religious sciences) dengan “ilmu-ilmu umum” (general sciences).
Dikotomi yang mulai muncul dan mapan sejak abad pertengahan sejarah Islam ternyata masih bertahan di kalangan para pemikir dan praktisi pendidikan di banyak wilayah dunia muslim termasuk Indonesia baik pada tingkat konsepsi maupun kelembagaan pendidikan (Azyurmardi Azra,  2002:101). Dan tragisnya paham dikotomi ilmu ini bertahan sampai pada era masa kini.

Pengertian Dikotomi Ilmu


Secara harfiah dikotomi berasal dari bahasa Inggris yaitu  “dichotomy” yang artinya membedakan dan mempertentangkan dua hal yang berbeda. Kata yang dalam bahasa Inggrisnya “dichotomy” tersebut, digunakan sebagai serapan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “dikotomi” yang arti harfiahnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan.(Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2001:264) Mujamil Qomar mengatakan bahwa dikotomi adalah pembagian atas dua konsep yang saling bertentangan. (Mujamil Qomar, 2006:74). Selanjutnya Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry mengartikan bahwa dikotomi sebagai pembagian dalam dua bagian yang saling bertentangan. (Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, 1994:110). Sedangkan  Yuldelasharmi dalam  Samsul  Nizar mengartikan bahwa dikotomi sebagai pemisahan secara teliti dan jelas dari suatu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain, dimana yang satu sama sekali tidak dapat dimasukkan ke dalam yang satunya lagi dan sebaliknya. (Samsul Nizar, 2009:230). Maka ketika menempatkan sesuatu pada dua kutub yang saling berlawanan dan antara dua kutub yang berbeda tersebut sulit diintegrasikan. Sikap tersebut telah menunjukkan sikap dikotomi.
Dikotomi ilmu adalah sikap yang membagi atau membedakan ilmu secara teliti dan jelas menjadi dua bentuk atau dua jenis yang dianggap saling bertentangan serta sulit untuk diintegralkan. (Baharuddin, Dkk., 2011), :44). Dengan demikian, apapun bentuk pembedaan secara diametral terhadap ilmu secara bertentangan adalah berarti dikotomi ilmu.
Sebab Munculnya Dikotomi Ilmu
Sebab munculnya dikotomi (dualisme) ilmu yang dapat di analisis diantaranya:
a.   Dikotomi ilmu merupakan warisan dari zaman kolonial belanda, Karena anak-anak yang bisa masuk sekolah belanda sebelum kemerdekaan hanya 6% dan terbatas bagi anak-anak kaum bangsawan dan saudagar, maka anak-anak orang Islam memilih Madrasah atau Pondok Pesantren yang memang sudah ada sebelum munculnya sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial belanda. (Jasa Ungguh Muliawan, ,2005: 206).
Sistem pendidikan masa Kolonial Belanda sangat diwarnai oleh dualisme pendidikan. Di satu sisi, adanya politik etis tersebut pemerintah menyetujui untuk memberikan politik balas jasa bagi pribumi dengan memberikan kesempatan memperoleh pendidikan. Namun di sisi lain, pribumi tetap dipelihara seperti sediakala. Pendidikan yang diberikan pada pribumi jelas tidak sama dengan pendidikan yang diberikan pada anak-anak Belanda, Tionghoa, dan Eropa lainnya. Hanya anak kaum bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki sekolah seperti MULO, AMS, dan HBS. Akibatnya pemerintah tetap melestarikan rust en orde, yaitu sebuah kestabilan politik di bawah kendali ratu Belanda, sehingga dapat menekan benih-benih ketidakpuasan dari kaum intelektual yang mungkin terlahir dari sistem dan kebijakan Belanda sendiri. Betapa sulitnya kaum pribumi untuk menaiki tangga mobilitas sosial. Hambatan sosial yang berupa latar keningratan dan kebangsawan menjadi batu sandungan yang berat bagi anak bangsa yang ingin memperbaiki nasib diri dan bangsa. Bagi mereka yang tak sempat mengenyam bangku AMS dan HBS, tentu saja lebih memilih memasuki jenjang pendidikan guru yang setingkat dengan MULO dan AMS sendiri namun dengan kualitas keilmuan dan gengsi di bawahnya.
b.   Ketika hancurnya sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan perpustakaan Islam karena mengamuknya tentara mongol yang meludeskan kota Baghdad serta dihancurkannya kekuatan umat Islam di  Spanyol dan terbunuhnya banyak ilmuan (Samsul Nizar, 2008:230). Maka dengan berakhirnya pemerintahan Abbasiyah di Baghdad (1258 M) ikut mengakhiri kejayaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang dirintis oleh para filsuf yang telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dimasa-masa selanjutnya. Masa kemunduran ini dikonotasikan dengan kemunduran pendidikan yang ditandai kemunduran intelektual (Suwito, 2005:273). Dan pada masa itu pula perkembangan umat islam mengalami masa stagnan atau kemunduran sejak Abad pertengahan (tahun 1250-1800 M) yang pengaruhnya bahkan masih terasa sampai kini (Abd. Rahman Assegaf, 2005:31)
c.   Krisis konseptual, atau terjadinya pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam, yaitu ilmu-ilmu keduniaan (general sciences), yang kemudian dihadapakan dengan ilmu-ilmu agama (al-‘umum al-diniyyah/religious sciences) (Azyurmardi Azra, 2002: 114). Sehingga hal ini berimplikasi bukan hanya pada tataran bidang keilmuan itu sendiri, tapi juga hal ini menyebabkan terjadinya gap pada bidang kelembagaan, yang selanjutnya juga akan menimbulkan krisis kelembagaan. Hilangnya budaya berfikir rasional seperti ini dikalangan umat islam, dalam sejarah islam kita tahu bahwa ada dua corak pemikiran yang selalu mempengaruhi cara berfikir umat islam yaitu pola pemikiran yang brsifat tradisional yang selalu mendasarkan diri pada wahyu yang kemudian berkembang menjadi pola pemikiran sufistik, yang memperhatikan aspek batiniah dan pola pemikiran yang rasional saja, kemudian pola pemikiran empiris rasional yang mementingkan akal pikiran (Samsul Nizar, 2008:233-234
d.   Dikotomi keilmuan bermula dari historical accident atau kecelakaan sejarah, yaitu ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio, dan logika mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqaha (Abdul Munir Mulkhan, 1998:87). Sehingga terjadi kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau kewajiban individu, sedangkan ilmu umum termasuk fardlu kifayah atau kewajiban kolektif (Abdul Munir Mulkhan, 1998:115). Akibat faktor ini, umat dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK).
e.   Krisis kelembagaan. Adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada, apakah ilmu-ilmu agama ataukah ilmu-ilmu umum.  Hal ini dapat pula berimpilkasi mulai dari segi pendanaan pendidikan yang dibawah naungan Kemendikbud dan Kemenag sangat jauh berbeda, sehingga hal ini pula dapat berimplikasi pada penunjang sarana dan prasarana.
f.    Dikotomi dalam pendidikan islam timbul akibat dari faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya. Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya, filsafat, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum, kian jauh. Epistemologi merupakan salah satu wilyah kajian filsafat yang di sebut juga dengan filsafat ilmu (philosophy of knowledge). (Abd. Rahman Assegaf, 2005:68). Seperti contoh ketika filsafat sebagai induk segala ilmu (mother all of sciences) mengalami pembidangan dalam struktur ilmu, misalkan ilmu pendidikan akan pecah menjadi cabang psikologi pendidikan, teknologi pendidikan, dst. Hal ini menyebabkan munculnya spesialisasi keilmuan.
g.   Faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam.

Akibat Dikotomi Ilmu
Dampak dari dikotomi ilmu  sebenarnya sangatlah besar, dan persoalan ini yang menjadi salah  satu yang  faktor kemunduran pada umat Islam. Realitas tersebut sederhana dapat dilihat, misalnya dalam dunia pendidikan, banyak  sarjana agama yang mengabaikan dan tidak paham ilmu umum sehingga tidak mampu  menjawab problematika keilmuan dan tekhnologi modern, sehingga menghambat penyebaran nilai-nilai Islam dalam ranah yang lebih luas.  sebaliknya banyak sarjana umum yang tidak paham agama, sehingga berefek pada dekadensi moral, dan tentu ini merusak

Upaya menghapus Dikotomi Ilmu
Untuk menghapus dikotomi ilmu, maka kita selaku insan akademik, praktisi pendidikan dan sebagai pendidik perlu mengupayakan secara   maksimal dan kongkret. Langkah-langkah yang perlu dilaksanakan dalam rangka upaya menghapus dikotomi ilmu adalah:
1.   Pemahaman atau paradigma masyarakat tentang pemisahan “ilmu-ilmu agama” (al-‘umum al-diniyyah atau religious sciences) dengan “ilmu-ilmu umum” (general sciences) dapat dipatahkan dengan cara bahwa pemisahan (pengdikotomian ini) hanyalah sebuah wujud “historical accidetn (kesalahan sejarah)” proses ideologisasi penyebaran keIslaman
2.   Penyebaran pemahaman bahwa ilmu itu satu, semua dari Allah swt.
3.   Para ahli (praktisi) pendidikan mampu mencontohi atau setidaknya menjadikan pelajaran bahwa intelektual-intelektual muslim terdahulu sebut saja misalnya asy- Syafi’I yang mampu mensinegrikan ilmu ushul fiqh dan filsafat Aristoteles dan masih banyak pemikir-pemikir muslim lainnya yang menorehkan sejarah kebangkitan.
4.   Pada prinsipnya dikotomi keilmuan (pendidikan) dan akhirnya sampai pada tingkat kelembagaan, disebabkan ketiadaan pembedaan antara pendidikan Islam sebagai ilmu dengan Pendidikan Islam sebagai Lembaga Pendidikan. Ketidak jelasan ini terlihat dengan ketidakmampuan membedakan antara pendidikan Islam dengan pendidikan agama Islam.
5.   Madrasah secara historis, sebagai upaya penyatuan antara pendidikan ala eropa dan ala pesantren.
6.   Mampu menghasilkan pendidikan yang mensinegrikan dua ilmu ini.

Penutup
Upaya penyatuan ilmu perlu dimulai dari pemahaman yang benar, langkah yang kongkret, dan dimulai dari cara guru mendidik, dengan cara diantaranya:
a.   Guru diharapkan mampu menyatukan mata pelajaran semisal IPA menjelaskan tentang bumi, seorang guru bisa mengambil satu ayat yang berhubungan dengan bumi. Guru IPS ketika menjelaskan tentang gempa, bencana alam, gunung berapi, bisa mengambil satu ayat yang menjelaskan tentang bahasan tersebut, guru PKn ketika menjelaskan tentang demokrasi bisa menyampaikan satu ayat yang berhubungan dengan demokrasi
b.   Setiap guru bisa menghubungkan dengan agama, atau agama dihubungkan dengan ilmu umum
c.   Pengambilan ayat al-Qur’an bisa melalui cara konvensional dan cara elektronik yaitu melalui al-Qur’an Digital
d.   Dalam bahasa kurikulum 2013, kata tematik mungkin tidak hanya diberlakukan di SD/MI, tetapi sebagian mata pelajaran perlu menggunakan cara tematik juga.
Demikian artikel ini, perbubahan yang besar harus dimulai dari yang kecil, dimulai dari diri kita dan dimulai sekarang juga. Semoga bermanfa’at.
Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar Yang Anda Sukai

No comments